Oleh: Aulia Ababiel
Setelah pemilihan umum presiden dan anggota legislatif selesai, sekarang rakyat juga dituntut untuk menentukan hak pilihnya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang di mana serentak dilakukan pada tanggal 27 November di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pilkada yang pada dasarnya merupakan pesta rakyat kini seolah menjadi sebuah ajang kontestasi bagi para pejabat untuk meraih kekuasan dengan menghalalkan segala cara. Bagaimana tidak, di saat rakyat yang dijamin kebebasannya dalam memilih kini harus dengan terpaksa memilih paslon tertentu hanya karena keadaan-keadaan tertentu hingga bahkan mendapat intimidasi.
Ditambah dengan “serangan fajar” yang diluncurkan oleh para timses yang membuat prinsip Luberjurdil dalam pemilu tercederai. Alih-alih melangsungkan pemilu damai yang ada hanya kerusuhan yang kerap terjadi hingga bahkan saling caci maki antara para pendukung dari setiap kandidat paslon.
Setiap pemilu berlangsung pasti akan diwarnai dengan ketegangan serta isu-isu yang menjadi bahan senjata untuk menjatuhkan lawan paslon yang lain. Berbagai narasi muncul kepermukaan. Bahkan keadaan yang bersifat pribadi pun digoreng menjadi isu politik. Seperti halnya pologami yang dilakukan oleh salah satu paslon yang nantinya akan dikaitkan dengan arah politik paslon tersebut.
Terlebih jika dalam pilkada hanya akan menguntungkan kelompoknya sendiri, maka sudah pasti jika paslon tersebut menang tentunya hanya akan mementingakan kepentingan kelompoknya saja. Keadaan tersebut tentu sudah menjadi tontonan setiap 5 tahun sekali di samping kewajiban memilih kepala daerah.
Bahkan, lebih anehnya lagi, jauh-jauh hari sebelum hari H pemilihan berlangsung, sudah terdengar kepastian kemenangan paslon tertentu. Hal tesebut bukan tanpa alasan, karena kedekatan paslon tertentu yang mendapat dukungan dari pemerintahan pusat membuat isu tersebut berkembang sehingga menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat terhadap hasil pemilu tersebut. Faktor tersebut berawal dari ketidaknetralan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pilkada.
Seharusnya, pilkada menjadi ajang untuk menyampaikan visi dan misi oleh para kandidat paslon untuk membangun daerah agar lebih baik kedepannya. Saling mengadu argumen bukan malah menimbulkan sentimen. Tentunya, rakyat harus cerdas dalam memilih. Lihat dulu bagaimana rekam jejak para paslon, baik dari segi pendidikan, kehidupan sosial dan tentu akhlaknya. Jangan memilih hanya karena elektabilitassnya. Tetapi utamakan mereka yang mempunyai etikabilitas (ethicability).