LPI Dayah Raudhatul Ma'arif

Oleh: Zuhdi Anwar

 

Setiap momen kenaikan kelas kita akan menjumpai kitab-kitab baru dan bahkan ilmu-ilmu yang terkesan baru bagi kita. Sebagai langkah pertama dalam mengawali permulaan kitab kita akan disuguhi dengan mabadi ‘asyarah (10 asas penting) dalam setiap kitab. Sebuah permulaan yang apik.

Tujuan sebenarnya 10 asas itu adalah demi mendekatkan pembaca dengan ilmu yang dipelajari. Agar pelajar tahu ilmu apa yang dikaji, hingga agar ia tidak miskonsepsi atau salah paham dan menyalahgunakan ilmu yang akan diajari. Kenyataannya hingga kini, pengenalan dengan 10 asas penting itu relatif berguna bagi pelajar.

Namun, dalam banyak kesempatan permulaan kitab terdapat kealpaan yang seharusnya harus segera diatasi. Itulah “berjabat tangan” dengan penyusun kitab. Artinya, kita banyak melewatkan kesempatan mengenal penyusun kitab dan track recordnya dalam petualangan menjelajah ilmu.

Jika menyimak adat para ulama kita akan menemukan setiap awal sesi ibda’ kitab banyak dihabiskan untuk berjabat tangan dengan kitab dan pengarangnya. Semua aspek kehidupan pengarang dan kitabnya dijelaskan sedemikian rupa, hingga karakteristik-karakteristik khusus kitab itu. Tujuannya jelas, agar pembaca merasa ada koneksi batin dengan pengarang yang pada gilirannya memudahkannya menyelami ungkapan-ungkapan pengarang.

Hanya itu satu-satunya cara membangun koneksi batin dengan pengarang kitab. Demikian, pada gilirannya akan menumbuhkan rasa penghormatan dan  pengagungan hingga wujudnya keinginan mengikuti langkah sang pengarang. Tidak hanya itu, jika hubungan itu terus dilestarikan, lewat melacak sendiri jejak pengarang dalam ensiklopedi para ulama, secara tidak langsung pembaca akan merasa lebih dekat dengan pengarang.

Masih banyak faedah lainya dari mengenal pengarang kitab yang dipelajari. Sayangnya, faedah-faedah itu hampir lenyap dalam lingkungan kita. Akibatnya, tidak jarang kita hampir hilang rasa hormat pada kitab dan pengarangnya. Lebih dari itu, tidak jarang kita sempat merasa asing dan bingung menyimak sekian ibarat-ibarat pengarang, yang kemudian malah membuat kita “bodoh amat” dengan ibaratnya.

Memang, selain keterbatasan waktu, kekurangan minat dan akses kitab-kitab sejarah para ulama juga menguatkan alasan kealpaan kita untuk mengenal para penjaga pesan Tuhan. Namun, kenyataan ketersediaan kitab dalam ruang LBM yang dapat diakses oleh semua orang, dengan syarat-ketentuannya, malah meruntuhkan alasan kedua tadi.

Bagaimanapun, belum telat bagi Anda untuk mengenal siapa dan bagaimana sepak terjang pengarang kitab yang Anda kaji. Kunjungilah rak-rak kitab yang kesepian itu. Jika perlu, mintalah pada guru untuk mengulasnya dengan renyah dan menyenangkan. Karena, hanya itulah satu-satunya cerita yang paling kita butuhkan dalam perjalanan tak berujung ini.

Tabik,

 

Artikel Lainnya!!!

Abu Cot Kuta Pendiri Dayah Raudhatul Ma’arif