Oleh: Tgk. Aulia Ababiel
Pendahuluan
Beut-Seumeubeut (belajar-mengajar) merupakan sebuah moto yang harus tetap ditradisikan di kalangan kita penuntut ilmu. Sehingga menjadikannya sebuah kegiatan yang harus diprioritaskan daripada kesibukan lainya. Beut-semeubet merupakan barometer bagi seorang penuntut ilmu terhadap berkah atau tidaknya ilmu yang dimiliki.
Nasehat yang sering kita dengar dari guru-guru kita yang merupakan sebuah wasiat dari almukarram Abon Abdul Aziz Samalanga kepada murid-murid beliau waktu itu. Di mana Abon Aziz sangat menekankan kepada murid-murid beliau untuk tidak pernah meninggalkan beut-seumeubet meski disibukkan dengan kegiatan lainnya.
Wasiat tersebut beliau terapkan dalam kehidupan sehari-hari beliau. Hal tersebut dapat kita dengar dari murid-murid yang pernah menimba ilmu langsung kepada beliau, bahwa dedikasi Abon terhadap beut-semeubet sangatlah luar biasa. Abon mengorbankan seluruh waktu beliau untuk mendidik umat. Sehingga dapat kita lihat banyak para ulama yang lahir dari berkah keistiqamahan serta keikhlasan Abon dalam menjalankan beut-seumeubet.
Biografi Abon Samalanga
Abon Abdul Aziz bin Muhammad Shaleh lahir pada tahun 1930 M di Desa Kandang, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Ayah beliau, Tgk. Muhammad Shaleh merupakan salah seorang pendiri dayah Darul ‘Atiq Jeunieb yang juga merupakan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jeunieb pada tahun 1945-1953. Tgk. Muhammad Shaleh sendiri merupakan salah seorang murid kesayangan Abi Hanafiah bin Abbas saat beliau belajar di dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga.
Seperti lazimnya anak-anak Aceh pada waktu tersebut, pendidikan pertama diterima dari orang tua mereka. Abon memperoleh Pendidikan pertama beliau dari orang tuanya dengan belajar Al-Quran dan ilmu fardhu a’in lainnya. Abon juga menempuh Pendidikan formal yang pada waktu tersebut dikenal dengan Sekolah Rakyat (SR) pada tahun 1937 hingga tamat pada tahun 1944. Setelah belajar di dayah orang tua beliau selama 2 tahun, pada tahun 1946 Abon melanjutkan pendidikan agamanya ke dayah MUDI Mesjid Raya yang saat itu dipimpin oleh Abi Hanafiah selama lebih kurang 2 tahun.
Pada tahun 1948, Abon melanjutkan pendidikannya ke dayah Matang Kuli yang diasuh oleh Tgk. Abdul Mubin Tanjongan yang merupakan murid dari Abu Meunasah Kumbang. Setahun berikutnya, Abon melanjutkan pendidikannya dengan belajar kepada Tgk. Majid Naro dan Tgk. Peusangan. Pada tahun 1951 Abon Kembali melanjutkan Pendidikan ke dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan di bawah asuhan ulama besar Aceh yang dikenal alim dan luas ilmunya, yaitu Abuya Muhammad Wali Al-Khallidi yang lebih akrab dipanggil dengan Abuya Muda Wali.
Semangat Beut-Seumeubeut Abon
Semangat dan kegigihan Abon dalam beut-seumebeut telah beliau terapkan semenjak beliau menuntut ilmu. Hal tersebut dapat terlihat dari kesungguhan beliau dalam mengembara mencari ilmu. Dari Barat, Timur, dan sampai ke Pantai Selatan Aceh beliau tempuh untuk mencari ilmu.
Abon sering menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab. Bila ada permasalahan yang musykil dari kitab yang dikaji, Abon akan mendatangi Abuya Muda Wali dengan mengajak sahabat beliau, Tgk. Syihabuddin Syah yang lebih dikenal dengan Abu Keumala untuk menanyakan serta berdiskusi dengan Abuya. Abon juga dikenal sebagai santri yang suka berdikusi dengan teman-teman sekelasnya dengan saling beradu argumentasi.
Keilmuan yang luas serta ketajaman nalar yang dimiliki oleh Abon menjadikannya salah seorang santri yang dipilih oleh Abuya Muda Wali menjadi salah satu anggota Lembaga Bahtsul Masail yang didirikan langsung oleh Abuya Muda Wali. Abuya memberi nama forum tersebut Majelis Safinatus Salamah Wan Najah yang disingkat dengan Majelis Sasawan. Forum tersebut hadir sebagai wadah untuk menjawab berbagai pertanyaan dari berbagai kalangan dan daerah dengan dalil yang lengkap serta nash yang sharih. Anggota forum yang terpilih merupakan yang sudah lulus seleksi dari Abuya sendiri dengan meninjau kemapanan ilmu serta ketajaman dalam berfikir.
Kegigihan beliau dalam beut-seumebeut juga beliau terapkan ketika beliau mulai memimpin dayah MUDI Mesra Samalanga. Abon mulai memimpin dayah MUDI Mesra pada tahun 1958. Dalam sistem Pendidikan, beliau lebih menitikberatkan santri terhadap penguasan kitab-kitab alat yang di mana sebelumnya tidak terlalu fokus dalam mengkaji kitab-kitab alat. Abon berharap agar para santri tidak hanya dapat memahami ibarat yang tersurat, tetapi juga bisa mengerti makna yang tersirat dalam ibarat tersebut, yang di mana hanya dapat dipahami dengan mengusai kitab-kitab alat.
Semangat beut-seumeubet Abon juga terlihat di mana di saat bulan Ramadhan yang pada kebiasaan kegiatan belajar-mengajar dilburkan dan para santri juga pulang ke kampung halaman, tetapi Abon tetap mengajar santri yang tinggal di dayah. Bahkan, tidak jarang kitab yang dikaji di bulan Ramadhan khatam beberapa kali bersama Abon.
Abon sangat fokus dan istiqamah dalam beut-seumeubet. Sehingga apabila ada kegiatan lain yang mengganggu jadwal beliau mengajar, maka Abon akan meninggalkan kegiatan tersebut. Abon tidak ingin kesibukan lain dapat menggangu kegiatan mengajar beliau. Sikap istiqamah dan keikhlasan Abon dalam beut-seumeubeut itulah yang membuat Abon berhasil mengorbitkan santri-santrinya menjadi ulama-ulama yang rasikh dalam ilmu agama.
Penutup
Abon Abdul Aziz Samalanga merupakan salah satu bukti bahwa dengan bersungguh-sungguh menjalankan beut-seumeubeut mengantarkannya menjadi ulama yang rasikh dalam ilmu Agama, hal tersebut dapat kita dengar dari ulama-ulama lain, baik seangkatan dengan beliau maupun dari generasi sesudahnya. Kesungguhan dan keistiqamahan Abon dalam beut-seumeubeut juga menjadi salah satu sebab lahirnya banyak ulama dari didikan beliau.
Sudah seharusnya bagi kita para penuntut ilmu menjadikan Abon sebagai role model dengan mencontohkan kesungguhan dan istiqamah beliau dalam mejalankan beut-seumeubeut. Setiap kita tentunya mempunyai kesibukan. Tetapi jangan kita jadikan kesibukan tersebut sebagai alasan untuk meninggalkan beut-seumeubet.
Jika memang karena faktor eknomi hingga kita harus meninggalkan dayah, maka lihat mereka yang sudah merantau hinga rela meninggalkan dayah hanyalah penyesalan yang mereka ucapkan. Dari banyak riwayat yang kita dengar, Abon Aziz Samalanga bukanlah seorang yang mempunyai harta yang melimpah. Tetapi dengan berbekalan kesederhanaan beliau menghidupkan beut-seumeubet dengan penuh kesabaran dan keikhlasan hingga membuahi hasil dengan banyaknya ulama yang lahir dari didikannya.
Marilah kita tingkatkan kembali semangat beut-seumeubeut dengan meneladani semangat dan kesungguhan Abon. Buang jauh rasa malas untuk mutala’ah kitab. Sebisa mungkin untuk mengulang kitab sebelum memberikan pelajaran. Sebagai penutup, penulis mengutip sebuah wasiat daripada Abon Abdul Aziz Samalanga:
“Ureung Droneuh Wajeb Neu Seumeubeut. Menyo Na Neu Seumeubeut Na Lon Sajan. Menyo Hana Neu Seumeubeut Hana Lon Sajan. Walau Cuma Aleh Ba”