LPI Dayah Raudhatul Ma'arif

Oleh : Zakiah*

Sebagai salah satu daerah mayoritas muslim, Aceh memiliki tradisi yang masih dijaga hingga saat ini. Beragam keunikan budaya di dalamnya menjadikannya salah satu destinasi yang menarik untuk di eksplorasikan. ‘Hari Meugang’, begitu masyarakat Aceh menyebutnya, yaitu ritual memasak dan menikmati daging bersama keluarga, kerabat, dan yatim piatu sebelum bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Menu umumnya indentik dengan daging sapi, namun ada di antaranya yang juga ikut memasak daging kambing, bebek, dan juga ayam.

Tentunya membeli daging sudah menjadi kewajiban bagi kepala keluarga. Apalagi pengantin baru, akan jadi hal yang memalukan jika tidak membawa pulang daging ke rumah mertuanya. Sehingga untuk mempersiapkan meugang dari jauh hari telah mempersiapkan bekal yang cukup.

Tradisi yang dimulai sejak masa kerajaan ini begitu penting bagi masyarakat Aceh. Pada hari meugang mereka rela mengambil jeda dari kesibukan untuk dapat ikut serta pelaksanaan meugang. Hal ini menggambarkan begitu pentingnya tradisi ini bagi masyarakat Aceh, bahkan masyarakat Aceh yang tidak menetap di negerinya pun, masih tetap melaksanakan budaya tersebut.

Semasa Sultan Iskandar Muda (1607- 1636 M), yaitu di masa keemasan Aceh, beliau membagikan daging meugang kepada masyarakat kurang mampu, tak hanya daging sembako dan beberapa kain pun ikut juga dibagikannya sebagai bentuk dari rasa syukur dan ucapan terima kasih atas kesejahteraan negeri Aceh dalam menyambut hari- hari besar umat Islam. Saat itu Aceh dalam kemajuan dan kemakmuran yang dikenal dan diakui negara luar. Sultan Iskandar Muda memerintahkan Petua Gampong untuk mendata seberapa banyak warga kurang mampu, mereka kemudian mendapatkan jatah daging dari kerajaan sebagai bentuk wujud dari kepedulian sultan kepada rakyatnya.

Dalam buku literatur ‘Singa Aceh’ begitu lugas menjelaskan tentang sultan Aceh yang begitu memprioritaskan rakyatnya, baik yang fakir miskin atau kaum dhuafa yang kemudian diwujudkan dalam satu Qanun atau hukum yang dikenal dengan nama “Meukuta Alam“. Kebiasaan terus berlanjut. Tahun-tahun berikutnya berhasil memancing para Ulee balang serta orang kaya untuk membagikan daging di hari meugang

Nilai-nilai religius tak luput dari tradisi yang satu ini. Bisa dilihat dari segi antusiasme masyarakat Aceh yang sesuai dengan pelaksanaan Sunnah Rasulullah Saw, di mana kita harus menyambut bulan suci Ramadhan dengan penuh suka cita. Selain dianggap sebagai salah satu bagian agama yang mesti dilaksanakan, perayaan meugang juga merupakan simbol sosialisme yang di mana membuat kerabat dan tetangga sekitar berinteraksi dan bersilaturahmi, sehingga mengeratkan tali persaudaraan diantara mereka.

Menjelang meugang tiba sepanjang jalanan akan kita dapati pasar dadakan. Para pedagang daging dan bumbu  berdiri berjejer di pinggir jalan menawarkan jualannya kepada pembeli. Meski harga dagingnya lebih mahal daripada hari-hari biasa namun hal itu tidak mengurangi semangat masyarakat Aceh.

Untuk kuliner di hari meugang para masyarakat yang tinggal di perkotaan mereka akan mengolah daging menjadi makanan yang modern, seperti steak, semur, sate dan lain-lain. Adapun menu umumnya daging akan dibuat sop, rendang, daging asam keueng, kari dan lain sebagainya.

Meskipun akar dari meugang ini sudah berselang 400 tahun lamanya, namun masih bertahan sampai kini. Bahkan para pahlawan Aceh pada masa perjuangan kemerdekaan pun memanfaatkan meugang sebagai perbekalan dalam bergerilya. Meugang merupakan warisan budaya Aceh, hal itu telah diakui oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan.

*Penulis merupakan santriwati Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng, Muara Batu, Aceh Utara.

Artikel Lainnya!!!

Abu Cot Kuta Pendiri Dayah Raudhatul Ma’arif