Seumeubeut merupakan salah satu kewajiban yang harus terus-menerus dilakoni oleh setiap ureung beut. Karena dengannya menunjukkan berkah dan tidaknya ilmu yang dimiliki. Sehingga semangat seumeubeut juga harus terus-menerus memuncak bagi setiap ureung beut.
Dewasa ini antusias untuk ganto glah seakan mulai memudar. Di mana ganto glah yang pada hakikatnya merupakan kesempatan untuk melatih kecakapan dalam mendidik kini seakan menjadi momok menakutkan. Bahkan terkadang memutar berbagai alasan untuk bisa terlepas dari “jerat” permintaan ganto glah.
Di satu sisi, tidak maunya seseorang dalam hal ganto glah bukanlah disebabkan dari malasnya. Tetapi sering kali permintaan tersebut datang di saat yang tidak tepat, bahkan terkadang secara mendadak. Hal tersebutlah yang mungkin bagi seseorang menggunakan berbagai alasan untuk menolaknya.
Seharusnya meminta orang lain untuk ganto glah harus didasari etika yang baik. Terlepas dari baiknya perbuatan seumeubeut, kita juga harus berpikir terhadap kemampuan seseorang dalam menelaah kitab. Jangan meminta seakan memaksa.
Keadaan yang kerap terjadi adalah ketika seseorang guru menggunakan otoritas keguruannya meminta kepada muridnya untuk ganto glah. Dengan tanpa berpanjang kata, sang guru meminta seakan memaksa. Dan pada akhir permintaan sang guru menggunakan kalimat pamungkasnya, “Meunyoe hana neu ek droeneuh neu mita ureung laen. Yang peunteng na ureung ganto”.
Iya, jika permintaan terjadi jauh hari sebelum hari H, maka tidaklah menjadi persoalan yang rumit. Tetapi coba bayangkan jika permintaan terjadi setengah jam atau bahkan 15 menit sebelum lonceng belajar berbunyi? Tentu nasi dengan lauk ayam penyet pun tidak terasa nikmat.
Pada dasarnya setiap santri yang sudah lama menempuh jenjang pendidikan pasti memiliki keinginan untuk mendidik, terlepas mampu atau tidaknya santri tersebut dalam menguasai disiplin ilmu. Tetapi kita juga harus memahami keadaan seseorang yang terkadang sangat jauh dari kata mampu.
Nah, sesekali boleh dong untuk menambah semangat dan keinginan seseorang terhadap ganto glah kita mengajaknya untuk menyeruput kopi bersama. Atau paling tidaknya mengucapkan “Terima Kasih” terhadap kemauannya menggantikan kewajiban kita. Hal inilah yang jarang dipraktikkan di lingkungan kita.
Ke depannya, semangat ganto glah yang kian hari semakin kisut harus terus memuncak. Karena ilmu yang sedikit jika terus dikembangkan dengan mengajar dan tekun menelaah kitab ia akan bertambah dengan sendirinya. Hal tersebut senada dengan beberapa peutuah gure, “salah saboh jalan jeut teuh tabeut, nyankeuh deungoen ta sameubeut”. [Abl]