LPI Dayah Raudhatul Ma'arif

 

Rasanya seperti akan pergi ke negeri yang entah berantah.
Tanpa teman yang sepaham.
Tanpa hangat celoteh Ibu.
Tanpa pelanggaran di lampu merah kota kecilku.
Juga tanpa pemandangan bapak-bapak  membaca koran di warung kopi kami tiap pagi.

Aku ini cuma kunang-kunang kecil yang berani terbang dalam kemeriahan, ikut ikutan bercahaya dalam pekat.
Sedang bila sendiri, aku takut-takut berkelana, malam terlalu menakutkan jika di belah sendirian.

Tapi semakin lama aku hidup, aku sadar bahwa hidup adalah pancaragam, hidup adalah sendiri yang sepasang.
Lahir dan mati.
Pergi dan pulang.
Bertemu dan berakhir.
Seorang diri dan beramai-ramai.
Mereka adalah sepasang yang tak bisa beriringan.
Bila lahir berjalan, mati menunggu menunggu di akhir tujuan.
Bila pergi berkeliaran, pulang mendekap di dalam rumah.
Bila sendirian sedang memeluk tubuhnya sendiri, keramaian tidak akan mengerti.

Maka esok selepas fajar, akan kuputuskan bahwa dengan bersikeras aku akan memilih sendirian dari pada beramai-ramai.
Akan ku masuk kan kedalam ransel besar ku harapan dan prasangka baik,
sedang takut dan teman-temannya kubiarkan teronggok di pekarangan rumah.
Masa bodoh mereka mati kedinginan, atau malah tumbuh bersama kaktus milik ibu yang ditanam sembarang.

Biar.
Biar saja kelana membawaku pada negeri yang entah-berantah,
Sebab senyum Ibu telah kubawa serta dalam saku celana.
Kenangan tentang kota kecilku juga sudah kusimpan baik-baik dalam kepala.

Biar.
Biar saja kunang-kunang kecil ini mencari tau sendiri apa yang tersembunyi di balik malam,
Biar saja ia paham banyak hal tentang kehidupan lalu tumbuh dewasa dengan tangguh.

Biar.
Biar saja ia berkelana.
Biar saja ia mengembara.
Hati menuntunnya.
Tuhan merestuinya.

{ ZFJ}

Artikel Lainnya!!!

Abu Cot Kuta Pendiri Dayah Raudhatul Ma’arif