Ya, “fudhuli” dalam pemakaian umum dimaknai dengan pembicaraan yang tidak perlu. Tetapi di sini Saya akan menariknya dalam konteks yang lebih luas; kesia-siaan waktu. Bagi yang pernah menyimak kitab al-Arba’in imam Nawawi pasti pernah juga mendapatkan dawuh Rasulullah yang satu ini
وَمِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْئِ تَرْكُهُ مَالَا يَعْنِيْهِ
“Sebagian dari kesejatian islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak penting”
Islam, sebagaimana yang dibawa Rasul, cukup tegas mengajarkan pemeluknya bahwa sebagian dari kesejatiannya islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak berkaitan dengan kepentingannya.
Hadist tersebut tentu punya syarahan yang berlimpah, mengingat ucapan Nabi adalah “الكلام الجامع”, punya makna yang begitu luas. Namun, sebagian para ulama salaf tertarik menafsirkannya tentang “fudhuli” yang masyhur, yaitu pembicaraan yang berlebihan.
Terlihat dari ucapan mereka yang berkata
من علم أن كلامه من عمله قل كلامه الا فيما يعنيه
“Siapa saja yang menyadari bahwa ucapannya tergolong dalam amalan(yang akan dihisab) tentu ucapannya sedikit; hanya berbicara apa yang penting”
Lain lagi syarahan Ibnu-Al Arabi. Beliau mengatakan hadist tersebut mengisyaratkan untuk meninggalkan hal-hal yang melebihi dari batas keperluan. Maqalah beliau berbunyi sedikit lebih keras.
أن المرئ لا يقدر أن يستقل باللازم فكيف يتعداه الى الفاضل
“Manusia itu mampu untuk hidup dengan hanya mengerjakan perkara yang semestinya, maka bagaimana bisa manusia itu sampai melewati batas kepentingannya?”
Sebuah ungkapan yang menyadarkan kita bahwa menuruti kegalauan sampai berimbas membuang waktu secara percuma itu tidak manusiawi yang semestinya manusia mulia; diberikan kelebihan dari makhluk-makhluk lain. Juga, sebagai makhluk taklifi, kesempatan waktu pula menjadi pertanggungjawaban yang cukup rumit di akhirat kelak.
Menyoroti zaman di mana berlimpahnya sarana untuk menyia-nyiakan waktu, Saya rasa tidak perlu lagi untuk memperlihatkan gambaran bagaimana tindak laku yang mencerminkan bahwa waktu dianggap bukan hal yang esensial. Produktivitas yang tidak berjalan, Saya rasa cukup terpampang jelas di hadapan kita, terlebih dalam lingkungan penulis sendiri.
Pengabaian terhadap inti-inti ajaran islam itu sendiri cukup sudah menampar kita lewat kritikan bangsa luar yang mengatakan bahwa umat Islam ketinggalan zaman. Ya, realitas di zaman ini cukup punya bukti untuk mengokohkan pendapat itu, padahal menoleh ke masa lalu, ilmuwan muslim lah yang membangun peradaban dunia. Sebut saja ada Al-Biruni, Matematikawan besar yang sumbangsihnya abadi dipakai dalam berbagai kemajuan zaman. Ada juga Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi atau lebih dikenal dengan nama Al-Khawarizmi. Atau juga ada Jabir bin Hayyan, seorang ilmuwan muslim perintis dasar Ilmu kimia. Tersebut pula Ibnu Rusy dan Al-Ghazali yang menyumbang pemikiran besar di bidang tasawuf dan filsafat. Bahkan dunia barat hingga saat ini terus mempelajari gagasan-gagasan pemikiran mereka. Masih banyak nama-nama harum lain yang menegaskan pada dunia bahwa dunia islam punya saham yang sangat besar dalam membangun peradaban dunia.
Lalu, apa yang harus dilakukan generasi muslim di zaman modern ini? Tertunduk lesu begitu saja di hadapan cemoohan bangsa-bangsa luar? Ayo bangkitlah!
Pahami dan resapilah bagaimana sebenarnya garis sejatinya muslim; kegigihan dan semangat yang bergelora untuk berilmu dan produktif. Semoga kita terlecuti untuk bangun bergerak kearah kemajuan, berdiri kokoh di hadapan serangan zaman.
Sekian. (Gureeg)