raudhatulma’arif.com|| Terlepas dari beban pikiran yang dapat menggelapkan kesadaran dari apa yang sudah terlewatkan, bukan bertumpu pada setitik pecapaian. Namun saat dimana perjalanan dapat dinikmati dengan rasa dan naluri jiwa. Ketika langkah mulai berirama, tertiup hembusan pikiran yang mulai bergelora “kemana aku harus berlabuh?”
Tepis segala tiupan itu dengan merelakan apa saja yang ada.
Ketika kaum sarungan mulai meminggangkan sarungnya, terhentak segala upaya yang dapat melonggarkan sarungnya. Seolah segala cara akan dilakukannya untuk mengeratkan sarung itu.
Sewaktu kaum sarungan tersadar di satu titik. Dia tercengang saat mengingat semua jalan yang sudah dia lalui, yang membuat dirinya tidak yakin dia sudah sampai di satu titik yang membingungkannya. Satu waktu ada saat kaum sarungan mengingat kembali perjalanan waktu yang telah dia lalui, dia malu pada dirinya sendiri yang pernah menangis sampai menjadi bisu, mengadu sampai tak tahu malu.
Namun semua itu sudah dibawa angin utara.
Perjalanan waktu kaum sarungan pun seolah sudah usai di satu titik yang membuat dirinya merasa bangga. Sampai pada akhirnya dia tahu, ternyata dalam hidup ini terdapat banyak titik. Titik yang pertama menghampiri, titik kedua pun mengintip di belakangnya. Titik itu menjadi samar, hingga dia tidak bisa lagi melihat titik-titik itu. Di situ lah titik yang sebenarnya. Yang menjadi penutupan panjangnya perjalanan kaum sarungan. Titik mati. (H A N)