Toleransi, kata yang akhir-akhir ini menjadi hangat diperbincangkan serta kerap menjadi perdebatan dalam pengimplementasiannya. Seolah-olah terhadap pengertian dan sampai di mana batasannya pun masih menjadi tanda tanya.
Umumnya, toleransi diartikan dengan saling menghargai antar umat beragama. Hingga bagi sebagian orang membolehkan memasuki ranah yang sakral di dalam agama yang lain dengan dalih bertoleransi. Padahal dalam Islam sendiri sudah diatur batasan-batasan bertoleransi terhadap agama yang lain.
Mengerucutkan toleransi dengan makna tersebut hanya akan menyempitkan jangkauan bertoleransi itu sendiri. Di mana kebanyakan dari kita menutup mata untuk mengimplementasikan rasa bertoleransi antar sesama umat manusia. Sehingga pembullyan demi pembullyaan masih merajalela, di mana sebagian daripada kita kerap membiarkannya hingga menganggapnya hal biasa.
Tuhan menciptakan manusia, pada khususnya, dengan beragam bentuk dan pemikiran. Sehingga keberagaman tersebut seharusnya mempererat persatuan, bukan saling mengucilkan.
Berbedanya pemikiran membuat setiap orang berbeda pula dalam menanggapi sebuah masalah. Hal ini pula yang dituntut bagi kita untuk bertoleransi terhadap pendapat yang tidak sependapat dengan pendapat kita.
Nah, hal ini pula yang sangat tabu di kalangan kita. Bahkan terkadang kita terlalu memaksa orang lain untuk mengiyakan pendapat yang kita keluarkan, tanpa peduli keinginan orang lain untuk tidak sependapat dengan pendapat kita. Sehingga juga terkadang dengan begitu kejam menuduh sesat hingga mengkafirkan mereka yang tidak sependapat.
Rasa egois kerap merasuki hati, hingga menganggap diri sendirilah yang benar. Keadaan seperti ini yang seharusnya dikhawatirkan bagi pribadi kita. Jika memang sudah terjangkit olehnya, maka akan sulit bisa menerima kenyataan bahwa ada orang lain lebih benar dari kita. Hingga serangkaian fitnah pun kita sebar untuk menjatuhkan orang lain.
Mulailah bertoleransi antar sesama manusia dengan saling menghargai. Buang jauh rasa iri dan dengki agar mudahnya tererat hubungan silaturahmi. Sebagai penutup, saya menukil sebuah ungkapan indah dari Syeikh Syams-i Tabrizi:
Umumnya, toleransi diartikan dengan saling menghargai antar umat beragama. Hingga bagi sebagian orang membolehkan memasuki ranah yang sakral di dalam agama yang lain dengan dalih bertoleransi. Padahal dalam Islam sendiri sudah diatur batasan-batasan bertoleransi terhadap agama yang lain.
Mengerucutkan toleransi dengan makna tersebut hanya akan menyempitkan jangkauan bertoleransi itu sendiri. Di mana kebanyakan dari kita menutup mata untuk mengimplementasikan rasa bertoleransi antar sesama umat manusia. Sehingga pembullyan demi pembullyaan masih merajalela, di mana sebagian daripada kita kerap membiarkannya hingga menganggapnya hal biasa.
Tuhan menciptakan manusia, pada khususnya, dengan beragam bentuk dan pemikiran. Sehingga keberagaman tersebut seharusnya mempererat persatuan, bukan saling mengucilkan.
Berbedanya pemikiran membuat setiap orang berbeda pula dalam menanggapi sebuah masalah. Hal ini pula yang dituntut bagi kita untuk bertoleransi terhadap pendapat yang tidak sependapat dengan pendapat kita.
Nah, hal ini pula yang sangat tabu di kalangan kita. Bahkan terkadang kita terlalu memaksa orang lain untuk mengiyakan pendapat yang kita keluarkan, tanpa peduli keinginan orang lain untuk tidak sependapat dengan pendapat kita. Sehingga juga terkadang dengan begitu kejam menuduh sesat hingga mengkafirkan mereka yang tidak sependapat.
Rasa egois kerap merasuki hati, hingga menganggap diri sendirilah yang benar. Keadaan seperti ini yang seharusnya dikhawatirkan bagi pribadi kita. Jika memang sudah terjangkit olehnya, maka akan sulit bisa menerima kenyataan bahwa ada orang lain lebih benar dari kita. Hingga serangkaian fitnah pun kita sebar untuk menjatuhkan orang lain.
Mulailah bertoleransi antar sesama manusia dengan saling menghargai. Buang jauh rasa iri dan dengki agar mudahnya tererat hubungan silaturahmi. Sebagai penutup, saya menukil sebuah ungkapan indah dari Syeikh Syams-i Tabrizi:
لَقَدْ خُلِقْنَا عَلَى صُوْرَةِ اللَّهِ. وَمَعَ ذَالِكَ فَإِنَّنَا جَمِيْعًا مَخْلُوْقَاتٌ مُخْتَلِفَةٌ وَ مُمَيِّزَةٌ. لَا يُوْجَدُ شَخْصَانِ مُتَشَابِهَانِ. وَلَا يَخْفَقُ قَلْبَانِ لَهُمَا الإِيْقَاعَ ذَاتَهُ.وَلَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ نَكُوْنَ مُتَشَابِهَيْنِ لَخَلَقْنَا مُتَشَابِهَيْنِ . لِذَالِكَ فَإِنَّ عَدَمَ اِحْتِرَامِ الاِخْتِلَافَاتِ وَفَرْضِ أفْكَارٍ عَلَى الاَخِرِيْنَ يُعْنَى
عَدَمُ اِحْتِرَامِ النِّظَامِ المُقَدَّسِ الَّذِي أَرْسَاهُ اللَّهُ
“Kita semua diciptakan menurut citra Allah, dan pada saat yang sama masing-masing kita diciptakan berbeda dan unik. Tak ada orang yang sama. Tak ada dua hati yang sama. Jika Tuhan ingin semua orang sama, maka Dia sudah menciptakan demikian. Oleh karena itu, tidak menghargai perbedaan atau memaksakan pandanganmu terhadap orang lain sama saja dengan tak menghargai aturan dan keputusan Tuhan”.(ABL)