Aulia Ababiel
Penulis
Kata teumerka tentu tidak asing bagi kita, terlebih jika kita menyandang gelar seorang guru kerap menggunakannya sebagai alat pamungkas ketika seorang murid tidak mematuhi titah gurunya. Teumerka berarti durhaka. Di mana jika kita melihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) durhaka memiliki arti ingkar terhadap perintah.
Kata teumerka menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi seorang murid. Bagaimana tidak, setiap kali melakukan sesuatu yang dianggap bisa menimbulkan kontroversial dengan gurunya bisa langsung dicap murid yang teumerka. Hal tersebut juga selalu diiringi dengan cerita-cerita murid yang teumerka yang kemudian disimpulkan dengan tidak mendapatkan keberkahan pada ilmu sebagai bentuk akibat serta balasan bagi murid yang teumerka.
Kata teumerka terkadang menjadi penghambat bagi seorang murid yang ingin menganalisa ibarat-ibarat kitab lebih dalam lagi dengan menghidupkan metode munadharah atau mudzakarah dalam ruang belajar. Hal tersebut dihindar agar tidak terjadi “bentrokan” surah dengan gurunya. Sehingga seakan-akan surah guru adalah kebenaran mutlak yang harus dianggukkan, tanpa perlu dibantah agar tidak teumerka nantinya.
Padahal jika kita menelusuri riwayat para ulama terdahulu banyak dari para mereka yang berbeda pendapat dengan gurunya. Sebut saja seperti kisah Abuya Muda Waly, seorang ulama besar Aceh. Ketika beliau menuntut ilmu pada Syekh Mahmud Blang Pidie pernah berselisih pendapat dengan gurunya tersebut perihal boleh atau tidaknya membesarkan suara ketika zikir dan shalawat setelah shalat. Abuya berpendapat bahwa membaca zikir dan shalawat sesudah shalat dengan suara Jahar yang dapat mengganggu orang lain tidak diperbolehkan. Pendapat tersebut berbeda dengan Syekh Mahmud, guru beliau yang megatakan boleh menurut dalil yang dipahami oleh beliau.
Perbedaan pendapat tersebut membuat Syekh Mahmud marah kepada Abuya, sehingga ketika Abuya ingin melanjutkan pendidikan ke Aceh Besar beliau meminta izin kepada gurunya tersebut seraya meminta maaf. Namun Syekh Mahmud hanya diam, seakan-akan tidak memaafkan Abuya. Namun ketika Abuya kembali dari Mekkah pulang ke Aceh di mana pada saat tersebut ada seorang tokoh PUSA bernama Tgk. Sufi yang mengajak debat para ulama yang berada di Blang Pidie. Beliau menengahkan masalah-masalah khilafiah. Sehingga kebayakan ulama dikalahkannya. Namun sewaktu berdebat dengan Abuya, semua dalil dan pendapat beliau dapat dengan mudah dipatahkan oleh Abuya.
Setelah kejadian tersebut barulah Syekh Mahmud memaafkan Abuya karena dulu pernah berbeda pendapat dengan beliau terkait boleh atau tidaknya membesarkan suara zikir dan shalawat sesudah shalat di masjid ketika belajar dulu. Syekh Mahmud merasa bangga dengan anak didiknya yang sudah menjadi seorang yang alim besar.
Begitulah kisah Abuya Muda Waly yang pernah berbeda pendapat dengan guru beliau, Syekh Mahmud Blang Pidie. Namun tentunya beliau tetap menjaga adab dengan tidak memandang rendah gurunya. Begitu juga jika kita menarik kisah ulama lainya banyak dari mereka yang berbeda pendapat dari gurunya. Seperti halnya juga seperti imam Syafi’i yang banyak berbeda pendapat dengan gurunya, imam Malik dalam meng-istinbath hukum.
Berbeda pendapat dengan guru tidaklah mengapa, selama perbedaan itu didasari keilmuan dan menjaga etika-etika dalam diskusi dan debat. Seorang guru juga harus memberikan kebebasan bagi seorang murid untuk menganalisa lebih jauh terhadap ibarat-ibarat matan kitab, meski nanti pada akhirnya pemahaman murid dapat berbeda dengan gurunya. Jangan membuat narasi seakan apa yang dipahami dan dijelaskan seorang guru adalah kebenaran mutlak serta memakai kata “teumerka” sebagai senjata pamungkas untuk menakuti agar murid tunduk patuh dengan kemudian mengiyakan.
Sebagai penutup, penulis ingin mengajak kepada kita para penuntut ilmu untuk lebih giat dalam menelaah ibarat-ibarat kitab. Agar kedepannya kita dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan hukum. Hidupkanlah diskusi-diskusi ringan di dalam ruang belajar. Jangan hanya guru menyampaikan surah sedangkan murid hanya diam dan sebagiannya bahkan tertidur pulas. Penulis pernah mendengar sebuah pernyataan dari beberapa orang guru, bahwa “Hayatul Ilmi bil Mudzakarah” (ilmu akan tetapa terjaga dengan adanya diskusi). Wallahu a’lam bishawab.