Idealnya, pendidik itu adalah uswah; penuntun dan panutan. Berperilaku selayaknya panutan yang akan menuntun pada tujuan. Menjiwai ilmu hingga ia melengkapi belahan sisi “mata uang” yang lain;amal.
Berharap menjadi seperti para pendahulu yang telah menoreh tinta emas dalam dunia islam dan pendidikannya tentu akan dianggap terlalu muluk-muluk. Tapi pasti kita masih punya pilihan untuk memilih, setidaknya standar moralitas pendidik di masa kini.
Alih-alih menggunakan kata “disiplin” yang dianggap mainstream dan sedikit dramatisasi, Saya lebih gemar mengatakan “keteraturan hidup”, sedikit lebih umum dari harfiahnya “disiplin”, yang diartikan kepatuhan pada aturan.
Ya. Salah satu aspek moral yang acap kali diacuhkan adalah keteraturan hidup.
Mengatur hidup sebagaimana porsinya untuk kestabilan jiwa dirasa masih sulit.
Saya ingin mengambil sebuah contoh kecil tentang beristirahat (tidur) yang cukup amburadul. Diakui atau tidak, tubuh yang tak teratur perihal tidur atau begadang akan menyisakan toxic; kestabilan jiwa akan sedikit terganggu. Bagaimana tidak? pagi yang menjadi ladang barakah sebagaimana janji Rasul akan terbengkalai begitu saja. Melewatkan subuh dan pagi itu membuat hari terasa tak menyegarkan dan membahagiakan.
Tubuh yang selalu dipaksa tak beristirahat itu akan melelah. Tanpa disadari, pada gilirannya pikiran akan juga lelah untuk berpikir jernih dan stabil. Saya teringat salah satu adegan di serial Money Heist. Sesudah Nairobi mengkudeta Berlin, Dia kemudian kelelahan, stres, dan kurang tidur yang berakibat hilangnya kendali diri; mengacungkan senjata, mengancam para tawanan.
Tubuh yang lelah dan terus dipaksakan itu akan menggoyahkan kestabilan jiwa dan kemudian akan mengaburkan tujuan.
Lalu, dengan kondisi yang serba tak menentu itu tetap juga mencoba “menyirami” anak didik dengan jiwanya itu terombang-ambing dalam racun pikiran yang belum dilelapkannya.
Intelektualitas kehilangan tajinya ketika kejiwaan tak stabil. Sebagaimana petuah KH. Hasyim Muzadi, beliau berkata “kecerdasan itu belum segalanya, kecerdasan itu masih tergantung pada kejiwaan. Jika kejiwaan itu goncang maka kecerdasan pun ikut goncang”. Dan Saya merasa keteraturan hidup, di samping hal-hal lain, itu punya efek dalam menstabilkan jiwa.
Pada akhirnya, ini hanya secuil problematik dari pandangan penulis yang bisa saja dinilai cukup subjektif. Dan penulis juga mengurung niat untuk menawarkan solusinya, toh kita semua juga sudah mendewasa untuk memahami apa sebenarnya yang kita tuju. (Gureg)