raudhatulmaarif.com || Menjadi orang alim bukanlah hal yang gampang. Selain harus mampu menyampaikan ilmu juga dituntut untuk bisa mempertanggungjawabkannya secara ilmiah. Di saat itu pula keilmuan yang komprehensif serta bacaan yang banyak menjadi syarat utamanya. Jangan hanya bermodal tampang dengan gaya bicara yang dapat memikat tetapi memiliki ilmu pas-pasan.
Kenyataannya, model manusia yang terakhir lebih menjanjikan di benak umat saat ini. Entah apa yang merasuki mereka, hingga terkadang terlalu menelan mentah-mentah apa yang disampaikan yang memang pada layarnya dibalut dengan Alquran dan Hadis, tanpa pernah memedulikan penafsiran di balik keduanya.
Di zaman serba instan ini seolah menuntut segalanya harus diperoleh dengan siap saji, termasuk urusan ilmu. Lihat, kebanyakan dari kita terlalu menikmati meneguk ilmu dengan hanya menatap layar-layar Youtube. Sedikit rasanya untuk sadar untuk beranjak menuju majelis ilmu. Padahal, terkadang butuh kajian lebih lanjut dari apa yang disampaikan. Tidak hanya memada dengan dengar, mengangguk, untuk kemudian diamalkan.
Maraknya kejadian tersebut membuat sebagian orang memberanikan diri menyampaikan agama walau tidak mendeklarasikan diri sebagai orang alim. Tetapi apa boleh dibuat, di mata umat mereka yang cakap dalam hal menyampaikan agama ditambah dengan pakaian yang dibalut jubah dan kepala yang berserban adalah ciri-ciri utama seorang alim.
Hal yang paling mengecewakan dari keadaan tersebut adalah gagalnya bagi sebagian orang untuk membedakan antara yang benar-benar alim dengan-bisa dikatakan- alim karbitan. Hingga terkadang apa yang disampaikan si alim karbitan menjadi pegangan teguh oleh kebanyakan orang awam, meski berbanding terbalik dari apa yang disampaikan si benar-benar alim.
Hal yang paling menjengkelkan lagi, di saat si alim karbitan yang memiliki ilmu pas-pasan begitu mudahnya menyalahkan pendapat orang yang memang memiliki legalitas dalam keilmuan. Tanpa berpikir panjang, dengan begitu mudahnya pula melabelkan orang lain sesat, hingga bahkan mengkafirkan.
Sebenarnya mudah saja dalam hal menjaga keasrian agama, cukup menempatkan diri pada tempatnya. Kita yang awam cukup menikmati keawaman dengan terus menuntut ilmu kepada mereka yang memiliki sanad keilmuan yang jelas. Tanpa pernah berpikir untuk mendadak alim dengan hanya seutas pengetahuan yang dimiliki. Dan para ulama siap sedia mencurahkan ilmunya kepada siapa saja yang membutuhkan. (ABL)