Ujian, lagi-lagi kita akan bergelut dengan yang namanya ujian. Ada yang menganggapnya menyenangkan, sehingga mereka menyambutnya dengan girang, ada juga yang melihat ujian sebagai momok, sehingga mengingatnya saja membuat takut bukan kepalang. Ketakutan tak beralasan ini sejujurnya timbul dari ketidakpahaman akan tujuan serta esensi dari ujian itu sendiri.
Untuk itu, bolehlah kita menyimak kembali apa yang diutarakan oleh Ibnu Jamaah al-Kinany dalam karyanya “Tadzkirah As-Sami’ wa al-Mutakallim fii adabi al-‘alim wa al-muta’allim” dalam pembahasan etika guru bagi murid ketika dalam majelis ilmu:
الثامن: أن يطالب الطلبة في بعض الأوقات بإعادة المحفوظات ويمتحن ضبطهم لما قدم لهم من القواعد المهمة والمسائل الغربية ويختبرهم بمسائل تنبني على اصل قرره او دليل ذكره
Dari itu, secara langsung kita dapat memahami bahwa ujian sangat diperlukan terhadap pelajar dalam berbagai disiplin ilmu, terlebih dalam belajar agama. Bahwa mengevaluasi atau menguji peserta didik adalah hal tidak boleh tidak agar terwujud anak didik yang berani, mandiri, dan kompetitif.
Lalu, tujuan ujian yang paling penting ialah untuk memicu para pelajar agar lebih giat, serta menjadi alat ukur bagi mereka untuk menimbang kembali seberapa paham mereka terhadap ilmu yang telah dipelajari, atau sebagai media untuk menguji sudah sampai titik mana kemampuan mereka dalam membaca dan memahami. Maka, di satu segi, ujian adalah sebuah upaya untuk menyadarkan para pelajar, sudah sampai dimana mereka dalam membaca, memahami dan mengingat pelajaran.
Bila begitu, maka ujian bukan soal jauh dekatnya batas yang ditentukan. Bila kita telah meyakini bahwa ujian ialah hal yang tidak boleh tidak, serta ia adalah alat ukur kemampuan kita maka soal jauh dekatnya batas adalah urusan remeh temeh. Lagi pula, betapapun dekatnya batas yang ditentukan, kalau pun kita sendiri jika malas adalah watak bawaan dasar, tetap saja ujian adalah momok yang menghantui.
Pula, ujian bukanlah perkara angka 6 terbalik atau selainnya. Nilai seyogianya tidak merubah kecekatan kita dalam menyiapkan diri untuk ujian. Nilai hanya sekadar angka, hanya ‘mekaran bunga’ dalam tabel rapor, tidak lebih. Dengan demikian, nilai hampir tidak bisa mengubah nasib kemampuan kita dalam memahami kitab. Seperti anggapan yang hampir usang, bahwa tinggi nilai mungkin sekali tidak selaras dengan tinggi pemahaman. Bila begitu, maka usahlah agar kita tidak terlalu baper terhadap nilai. Fokuskan untuk melecut kembali semangat memahami.
Dan satu hal lagi, usahlah terlalu gentar terhadap guru penguji. Sebab niat mereka suci. hanya untuk menguji, bukan untuk mengerdilkan apalagi mencaci kekurangan kita. Pun, penguji sadar batas kemampuan kita, tentunya tidak akan menguji jauh dari batas kapasitas kita. Bila boleh jujur, andai diuji sedemikian berat itu agar kemampuan yang masih terkubur mencuat keluar. Siapa yang beruntung? Tentu kita sendiri.
Lalu, setelah melalui proses ujian, kita akan tahu dimana kekurangan diri kita, lalu berusaha menyempurnakannya, dan dimana kecacatan ilmu kita, lalu berusaha memperbaikinya.
Untuk menutup tulisan mini ini, layaknya kita kembali mengingat penuturan Imam Ghazali bahasa yang berbunyi:
Doa kami menyertai kalian.
Ma’annajah!