LPI Dayah Raudhatul Ma'arif

www.raudhatulmaarif.com
Untuk apa Nabi Muhammad diutuskan pada akhir zaman? Salah satu jawaban paling tepat ialah:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَقِ
“Sungguh aku diutus untuk menyempurnakan kemulian tata krama”
Kita telah sepakat bahwa Nabi Muhammad menjadi Uswah Hasanah yang paling tepat. Berbagai etika yang baik, kita bisa merujuk semuanya kepada beliau.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ الِله أُسْوَةٌ حَسَنٌَة لِمَنْ كَانَ يَرْجُوْا الله َ وَالْيَوْمَ الآخِرَ َوذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sungguh pada diri Rasulullah Saw itu terdapat suri tauladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa saja yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) di hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” (Al- Ahzab : 21)
Namun, bukan rahasia lagi dalam dunia islam, bahwa zaman jahiliah adalah satu era dimana etika dan moral dibenamkan setengah diri dalam tanah kering. Meskipun kita perdapatkan dalam sejarah ada setetes kebaikan yang masih tertanam dalam jiwa mereka, misalnya, memuliakan tamu, berlomba-lomba dalam dermawan, tapi itu hanya bahagian kecil saja jika dibandingkan dengan kerusakan moral mereka yang besar. Oleh sebab itulah, maka diutuskan Nabi Muhammad benar-benar untuk merenovasi balik kerangka moral mereka yang telah usang. Hanya membutuhkan 23 tahun dalam masa kerasulannya beliau mampu merubah itu semua, meski sebelum masa kerasulan pun nilai-nilai etika baik sudah nampak pada dirinya. Dalam kurun waktu yang singkat itu beliau sanggup mengembalikan wajah moral yang dulunya kusam kini kembali dengan wajah segar berseri-seri. 
Tahun berganti dengan abad, miskin moral kembali menghantam manusia zaman kiwari. Dunia merasakannya, Indonesia turut mencicipinya, wa bil khusus Aceh yang menanggungnya dengan amat kentara. Maka tidak salah apa yang pernah disuarakan oleh ulama dari Mauritania, Syaikh Abdullah bin Bayyah. Beliau berkata:
ِلِكُلِّ زَمَنٍ تَحَدِّ وَتَحَدِّ هَذَا الزَّمَانِ المُحَافَظَةُ عَلَى مَكَارِمِ الَأخْلاَق
“Setiap zaman ada tantangannya dan tantangan zaman ini adalah memelihara kemuliaan akhlak.”
Lalu, siapakah yang mampu dan bisa memperbaiki kembali krisis etika dan membangun kembali moral bangsa yang terpuruk ini? Berikut jawabannya.
Ulama yang sebenarnya sebagai pewaris segala sifat Nabi telah ada dan akan terus ada di tanah garis khatulistiwa ini. Tak ayal, pengaruh mereka dalam dunia nyata tidak bisa diingkari sama sekali. Mereka memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat dalam porsi yang besar. Begitu pula dengan benih-benih ulama itu sendiri, yaitu santri. Perbedaannya hanya saja santri lebih kecil skala pengaruhnya. Meski begitu, tetap saja, ulama dan benih-benihnya menjadi tolak ukur bagi masyarakat, baik dalam hal hubungan antar manusia dan dalam mengambil sikap terhadap hukum-hukum keagamaan.
Nah, karena posisi ulama dan santri berada pada garda terdepan dalam barisan umat Islam, maka pastilah keduanya mendapat tanggung jawab paling besar dalam memperbaiki moral bangsa yang sedang dalam pesakitan yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Karena ulama dan santri memiliki kesempatan serta kemampuan dalam hal itu.
Kemampuan yang didapat oleh santri itu berasal dari penyerapan sari-sari isi kitab akhlak dan juga dari mencontohi teladan-teladan yang baik dari gurunya secara terus menerus. Adapun berbicara kesempatan, tentunya santri sudah bisa memberi teladan bagi teman sejawatnya dalam lingkungan pesantren, serta dapat membawa teladan yang baik itu ke tempat asalnya, lalu dia bisa memberikan contoh kepada keluarga dan lingkungannya. Lebih-lebih apabila ia aktif di dunia maya. Disini, santri bisa memberikan pengaruh dalam membawa nilai-nilai etika baik tadi. Mulai dari membuat status Facebook, story Instagram, berkicau di Twitter, hingga cakap dan bijaksana dalam menanggapi berbagai macam berita yang tak berhulu asalnya atau isu-isu hangat yang laku bak gorengan di musim hujan. Sebab bila santri-yang notabenenya menjadi tolak ukur bagi masyarakat tidak bijaksana dan cakap, dalam artian tidak mengejawantahkan nilai-nilai moral yang baik dalam menanggapinya, maka yang non-santri akan mengekorinya, meski dalam skala kecil. Kesempatan dan kemampuan ini bila terus diabaikan dan tidak ditangani secara intens, maka tak ragu nantinya pesakitan moral makin mengganas. Juga berdampak buruk pada keberkahan ilmu santri khususnya.
Lebih jauh, kita menengok kenyataan bahwa kehidupan telah terbagi kepada dua bagian; nyata dan maya, yang keduanya masih saling memengaruhi satu sama lain. Celakanya, dewasa ini, kehidupan maya cenderung memberi pengaruh buruk bagi kehidupan nyata, di samping masih bisa memberi pengaruh baik. Dalam arti, segala sesuatu yang didapat dari dunia maya dengan mudah dapat mencaplok wilayah kehidupan nyata. Tak usah jauh, kebencian dari dunia maya dengan mudah dan cepat menjadi kebencian di dunia nyata. Atau katakanlah seperti budaya-budaya luar yang memang tak patut dicontoh malah mendapat perhatian besar dari masyarakat dan pada waktu yang sama mengabaikan budaya yang baik dari dunia luar. Disinilah tempat paling kental manusia terlihat miskin moral. 
Dan pada titik ini pula santri sepertinya kehilangan sifat kesantriannya-khususnya di Aceh tercinta. Tengoklah kenyataan, bahwa memang sebagian kecil santri sudah hampir kehilangan sifat kesantriannya dalam melakoni kehidupan dunia maya, yang dapat menimbulkan reaksi lebih dalam dunia nyata. Bila santri tidak mampu mengembalikan kesantriannya dalam dunia nyata, terlebih dunia maya, maka peradaban dunia santri akan mengalami keruntuhan.
Rasa saling menghargai dan menghormati salah satu bagian dari beberapa banyak nilai-nilai etika baik sudah mulai samar-samar- bila tak ingin dikatakan sudah hilang- terasa di dunia maya dan nyata. Budaya buruk tersebut sudah menjangkiti sebagian warga dunia maya. Sialnya, sebagian kecil santri turut terinfeksi virus tersebut. Kita heran, bagaimana bisa santri yang sudah mempunyai kemampuan dalam beretika baik dengan mudah bisa terjangkiti penyakit tersebut. Memang, dunia maya lebih durjana dari dunia nyata.
Bila ingin menilik lebih dalam-sebagai bahan untuk mengintropeksi diri, mau tak mau kita harus mengakui dan menginsafi, bahwa nilai-nilai moral pada diri santri sudah mulai terlihat berkurang. Coba saja kita amati dengan baik, dalam lingkungan pesantren saja, antara sesama santri, lebih lagi antara santri dan gurunya, nilai-nilai etika sudah mulai pudar. Rasa menghormati hanya tersisa pada individu tertentu saja. Maksudnya, hanya pada segelintir santri yang sudah bisa membaca kenyataan sekarang, yang masih bisa memelihara budaya menghormati tersebut.
Walau demikian, kita tidak memungkiri akan banyaknya organisasi atau aliansi santri yang bisa dan mampu berbudaya baik lalu memberi pengaruh besar di sekelilingnya, nyata maupun maya. Namun, manusia sekarang memang lebih condong memindai budaya buruk yang kecil ketimbang budaya baik yang sudah terang dan jelas terpampang dihadapan mereka.
Kesimpulan
Santri sebagai benih ulama, yang terus diberikan dan dipupuki dengan teladan-teladan yang baik sebagaimana yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad lalu secara turun-temurun dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu, dan sebagai ulama muda dalam kehidupan zaman dewasa ini, harus terus menggalakkan dan memantapkan langkah dalam memberi pengaruh budaya baik bagi keluarga dan lingkungan nyata dan maya. Kalaulah bukan santri, siapa lagi yang akan menggaungkan pembangunan dari kejatuhan moral sekarang?
Akhir kata, seraya kita merayakan Hari Santri yang tak lama lagi akan datang, kita harus terus memacu dan membakar semangat santri dalam membangun moral bangsa yang sedang benar-benar terperosok ini. Kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk melihat kekurangan dan kelemahan semangat santri, lalu menyempurnakan dan menguatkannya.
Tabik.

Artikel Lainnya!!!

Abu Cot Kuta Pendiri Dayah Raudhatul Ma’arif