Pada awalnya tulisan ini sengaja ditulis berupa lembaran saja supaya pembaca bisa membacanya secara kebetulan dan agar mudah dijadikan sebagai Mading. Dan sekarang kami coba untuk mempublikasikannya di website ini. Tidak ada yang istimewa dari tulisan ini karena penulisnya bukan ahli sejarah, tapi Cuma sekedar ingin mempersembahkan kepada para pembaca sebuah goresan tinta dari catatan yang usang siapa tau ada yang telah lama mencarinya. Tulisan ini Cuma pemahaman sepihak dari penulis dari buku-buku yang telah penulis baca, bahkan tulisan ini adalah ruh dari buku Tarikh Atjeh Dan Nusantara yang penulis baca ditahun 1996. dibawah ini penulis tampilkan tabel buku-buku tersebut:
NO
|
NAMA BUKU
|
PENGARANG
|
KETERANGAN
|
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
|
Tarikh Aceh dan Nusantara
Hasyim Bangta Muda
Tgk Nyak Makam
Aceh (versi terjemahan)
Bustanus Salatin (versi latin)
Kronika Pasai (hikayat raja Pasai)
Wajah Aceh dalam lintasan sejarah
59 tahun Aceh Merdeka di bawah ratu
Tajul Alam Safiatuddin Syah
Menelusuri jejak syeh Hamzah Fansuri
Nurul A’la
Sejarah Islam
Syeh Nuruddin Arraniri
Aceh sepanjang abad
Rihlah Ibnu Batutah
|
H.M.Zainuddin
Lamkaruna Putra
Lamkaruna Putra
H.C.Zentgraf
Nuruddin Arraniri
T Ibrahim Alfian MA
T Ibrahim Alfian MA
Ali Hasyimi
Mahmunar Rasyid
Editor: Khatib A.Latif
Tgk. Arifin Amin
Ahmad Al-Usairi
Ahmad Daudi MA
H.M.Said
Ibnu Batutah
|
Hilang thn 2003
Dibaca thn 2001
Dibaca thn 2001
Dibaca thn 1998
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Bukunya masih ada
Maktabah Syamilah
|
|
Catatan: Sebenarnya masih ada beberapa buku lagi yang tidak disebutkan dikarenakan buku-buku tersebut adalah buku tua yang tidak diketahui lagi judulnya. Juga ada beberapa masalah yang diambil bukan dari buku tapi berupa majalah , lembaran potocopi dan internet. dan ada beberapa masalah yang Cuma berdasarkan dari cerita mulut ke mulut tapi tidak banyak. Oleh karena itu tulisan ini tidak ada foot notesnya.
|
||||
PULAU SUMATERA
Pulau Sumatera dulunya bernama pulau Perca atau Ruja mungkin berasal dari bahasa Arab yaitu Raja’ yang artinya harapan, sebenarnya yang disebut dengan Sumatera adalah bekas kerajaan Samudera Pasai sebagaimana tertulis dalam Rihlah Ibnu Batutah, sewaktu mengisahkan kunjungannya menemui sultan Ahmad Malikuzzahir (raja Muhammad) raja Samudra tahun 1346 M, beliau tersalah dalam menulis Samudra beliau menulisnya Sumathra (Marcopolo menulisnya Samara, Tome Pires menulisnya Camotara, Oderico de Portenone menulis Sumolthra sedangkan orang Tiongkok menulisnya Sumunhtala), sedangkan untuk bekas kerajaan Sriwijaya disebut Andalas. Pengubahan nama Sumatera menjadi Andalas diera kolonialisasi adalah politik Belanda. Sebelum menyerang Aceh, Belanda lebih dulu melakukan pengguntingan wilayah, setelah Siak (Riau) takluk kepada Belanda, Belanda memaksa raja Siak untuk mengakui batas wilayahnya sampai ke Tamiang, sehingga secara otomatis wilayah kerajaan Hindia Belanda di Sumatra dari Lampung sampai keTamiang, jadi kapan-kapan Belanda melakukan pergerakan militer ke wilayah Sumatra timur, Sumatra barat dan Tamiang berarti Belanda tidak melanggar Traktat London 1824 yang melarang expansi militer ke Aceh. Kemudian Belanda mengubah nama pulau Sumatera menjadi Andalas, dan meresmikan bahasa melayu Riau sebagai bahasa pengantar, untuk mengganti bahasa melayu Pasai, sehingga wibawa kerajaan Aceh semakin pudar.
ASAL PENDUDUK DI SUMATERA
Menurut pemeriksaan ahli sejarah, suku-suku di daerah tropis tentu barasal dari daerah yang suhunya hampir sama pula. Kesamaan bahasa Semang (di Malaka) Sakai (di Maluku) Negrito (di Pilipina) dengan bahasanya orang Annam dan Assam (Hindia muka) serta dengan bangsa Munda Santali di Himalaya barat, membuat ahli sejarah berkesimpulan bahwa asal suku-suku di Asia tenggara berasal dari Hindia belakang (kaki gunung Himalaya), yang menelusuri sepanjang lembah sungai gangga turun kemuaranya di teluk Benggala, mendiami seluruh pantai dan berkembang biak ke segala jurusan yaitu dari Mergui (Birma Selatan) Annam (di Indocina) yang telah bercampur dengan bangsa Mongol dan Wedda di pulau Sailan, kedatangan bangsa tersebut melalui semenanjung Malaka dan pulau-pulau Sailan, Andaman, Nicobar di teluk Benggala dan terus ke Sumatra (Aru, Perlak, Pase, Pidie, Sriwijaya), dari Sumatra terus ke Jawa dan terus ke Bali, Lombok dan Sumba, juga dari Jawa ke Borneo dan dari Borneo ke Selebes (Bugis) dan terus ke pilipina dan Formosa. Inilah yang dinamakan Rumpun Melayu. Kedatangan mereka diperkirakan sekitar tahun 2500 – 1000 SM, mereka yang datang pada kisaran tahun tersebut dinamakan bangsa Melayu Tua (Proto Malay). Kemudian disusul lagi kedatangan mereka pada sekitar 300 tahun sebelum Masehi yang dinamakan dengan Bangsa Melayu Muda (Deutero Malay).
Kedatangan bangsa Melayu muda yang sudah lebih modern karena sudah pandai membuat bahan-bahan dari logam membuat bangsa Melayu tua menyingkir ke pedalaman, menurut perkiraan suku Alas, Gayo, Batak dan suku- suku lain di pedalaman adalah bangsa Melayu tua, karena mereka mempunyai ciri khas dan bahasa yang hampir sama. Bangsa Melayu tua lebih memilih tinggal di pedalaman sedangkan Melayu muda tinggal di pesisir.
ZAMAN PRA SEJARAH
Zaman pra sejarah yang paling jauh yang dapat ditemukan buktinya di Aceh adalah zaman batu pertengahan (mesolitikum), Dr.H.Kupper mencatat penemuan batu bergosok sebelah yang dinamakan dengan Sumatra Lith (kapak Sumatra) di empat tempat penggalian; tiga di Aceh Utara yaitu Krueng Geukueh, bukit Panggoi, Kandang dan di Kuta Binje Aceh Timur. Dan ditemukan juga sisa makanan dan beberapa perkakas yang tertimbun bersamanya di sepanjang pantai dari Medan hingga ke Aceh Timur. Ternyata Sumatra Lith juga di temukan di Indo Cina, penemuan tersebut menjadi bukti kuat bahwa asal penduduk di zaman tersebut dari Indo Cina.
KEDATANGAN AGAMA HINDU
Berdasarkan pembuktian sejarah, Hindu masuk ke Indonesia setelah menjelang akhir abad IV Masehi, hal ini dikuatkan karena ditemukan prasasti adanya kerajaan Hindu di Kutai ( Kalimantan timur) dan Tarumanegara di Jawa barat. Sebagaimana telah dimaklumi agama Hindu berasal dari India, kalau diakhir abad ke IV sudah ada kerajaan Hindu di Kutai maka sangat tidak mustahil kalau Hindu lebih dulu masuk ke Sumatra, Jawa, baru ke Kalimantan. Karena untuk mencapai Kalimantan sangat tidak mungkin bagi pembawa Hindu untuk tidak singgah dulu di Sumatra untuk menambah perbekalan dan air apalagi bagi tranfortasi zaman dulu. Pembuktian adanya kerajaan Hindu di Aceh kurang bisa dipastikan karena tidak diperdapati prasasti sebagaimana daerah lain, tapi banyaknya bahasa Sangsekerta yang dipakai dalam bahasa Aceh, dan diperdapati kuburan Hindu di Kuala Bate Pidie membuktikan bahwa memang adanya Hindu di Aceh, walaupun tidak diketahui dengan pasti adanya kerajaan Hindu. Dari penelitian bahasa, kata-kata dan etnologi dapat diyakini bahwa Hindu masuk ke Aceh melalui daerah Indocina, hal ini dapat dibuktikan dengan warna kulit, kalau dibanding dengan suku-suku lain di Sumatra, kulit orang Aceh lebih banyak yang kehitam-hitaman seperti orang Indocina. Menurut Snouck Hurgronje; “langsung atau tidak langsung Hinduisme pada suatu waktu sudah mengalir kedalam peradaban dan bahasa Aceh, walaupun mengenai hal itu sukar diteliti, hubungan dengan penduduk India dari masa Hindu terus berlanjut hingga kemasa Islam”.
KERAJAAN PRA ISLAM
Walaupun masih diperdebatkan, kunjungan seorang pengembara Tionghoa bernama Fa Hien ke India pada tahun 399 M, yang singgah di Yeh Po Ti ( menurut sebagian ahli sejarah kemungkinan itu adalah Aceh) dan hikayat Tiongkok dari dinasti Liang (502-556 M) yang menceritakan kerajaan Poli (berdasarkan letak geografisnya mungkin Pidie, Belanda menulisnya Pedir ) yang luasnya dari timur ke barat 50 hari perjalanan, desanya berjumlah 136 desa, iklimnya panas padi ditanam dua kali setahun (membuktikan sudah ada irigasi) adat istiadat sama dengan Kamboja dan produksinya sama dengan Siam dan pada tahun 518 M utusan Poli datang ke Tiongkok. Hal ini membuktikan sudah adanya kerajaan di Aceh sebelum Islam datang, karena nabi Muhammad S.A.W lahir tahun 571 M. Mengenai kerajaan Huang Che (abad ke I M) dan Acin (671 M) akan di jelaskan pada pembahasan suku Aceh.
KERAJAAN ISLAM
Sebelum berdiri kerajaan Aceh Darussalam di Aceh diperdapatkan beberapa kerajaan islam, diantaranya kerajaan peureulak 840 M, Samudra 1261 M dan Lamuri (berasal dari kata-kata Lam U Rie’). Diawal abad ke 13 sudah banyak berdiri kerajaan Islam di Aceh, kunjungan Marcopolo di tahun 1292 M telah singgah di Ferlec (peureulak), Basman (Pasai), Samara (Samudra), Dagroin (Pidie), Lambri (Lamuri), Fansur (Barus), di ceritakan bahwa dia melihat Saraceen (pendatang muslim / orang Arab) di kerajaan tersebut. Bahkan diabad ke 7 M pun sudah ada kerajaan Islam, hikayat Tiongkok dinasti Tang (618-906 M) menceritakan kerajaan Tashi (sebutan Cina untuk orang Arab) yang urung menyerang kerajaan ratu Shima (Sriwijaya) pada tahun 674 M, menurut M. Said Tashi adalah satu perkampungan yang dibangun oleh orang Arab di pantai barat Aceh dimasa dinasti Bani Umayyah (661-749 M), karena dimaklumi dari sejarah dimasa Bani Umayyah berkuasa banyak yang menyingkir ke Yaman, sedangkan bangsa Yaman terkenal sebagai pelaut.
SUKU – SUKU DI ACEH
A. Gayo
Diceritakan dalam Hikayat Raja Pasai “bahwa bersabda Rasulullah S.A.W. kepada para sahabat : “bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di bawah angin Samudera namanya, apabila ada didengar khabar negri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negri masuk dalam agama Islam serta mengucap dua kalimat syahadat, syahdan lagi akan dijadikan Allah S.W.T. dalam negri itu terbanyak dari pada segala wali Allah jadi dalam negri itu, adapun pertama ada seorang fakir di negri Menggiri namanya, ia itulah kamu bawa serta kamu ke negri Samudera itu”. (hadis ini diperdapatkan dalam Hikayat Raja Pasai dengan teks Melayu tidak diketahui bagaimana teks Arabnya yang benar, bagaimanakah Rasulullah menyebut Samudra dalam bahasa Arab, apakah dengan Sumathra seperti Ibnu Batutah?, wallahu A’lam dan perawinyapun tidak disebutkan, jadi sulit untuk diperiksa kebenarannya). Berpedoman kepada hadis tersebut maka syarif Mekkah begitu mendengar berita kerajaan Samudra mengirim Syekh Ismail untuk berangkat ke Samudra, sebelum sampai ke Samudra beliau singgah dulu di negri Menggiri (Malabar –India) untuk menjemput Sultan Muhammad (keturunan Abu Bakar r.a.) untuk bersama-sama berangkat ke Samudra guna mengislamkan penduduknya, mereka menyamar menjadi pedagang, setelah mereka sampai di Samudera ternyata raja Meurah Silu (Meurah dari bahasa parsi = mohrat artinya mulia, Silu dari kata-kata silau) adalah seorang muslim bahkan hafal Alquran dan mengerti hukum-hukum agama, oleh karena itu maka syeh Ismail memberi gelar kepada Meurah Silu “Malikussaleh” (raja yang saleh). Kedatangan syarif Mekah dan sultan Malabar yang menceritakan maksud kedatangannya untuk mengislamkan penduduk Samudra berdasarkan perintah Rasul S.A.W. memberi sugesti bagi Malikussaleh untuk memerintahkan rakyatnya masuk Islam. Dimulailah dakwah oleh syeh Ismail, setelah beberapa lama di Samudera rombongan Syeh Ismail kembali ke Mekah, dan dakwah di lanjutkan oleh Malikussaleh sehingga banyaklah yang masuk Islam, tapi ada satu kelompok yang tidak mau masuk Islam, mereka mengungsi ke hulu sungai Peusangan karena takut diperangi, sehingga dinamakan suku “ka yoe” (artinya takut) kemudian berubah menjadi Gayo, yang juga disebut Gayo Laut Tawar.
Juga diceritakan suku Gayo Serbojadi (Lokop) adalah mereka yang menyingkir kehulu sungai Bayeun karena tidak mau tunduk kepada Gajah Mada yang membangun kerajaan Maja Pahit di Manyak Payed. Wilayah Maja Pahit pada waktu itu mencakupi Manyak Payed, Langsa (Telaga Tujoh) ,Bayeun, Dama Tutong (Peureulak). Mungkin karena inilah mereka dinamakan Serbojadi (Belanda menulisnya Serbeujadi, tapi sekarang ditulis Serbajadi) karena suku itu terjadi akibat penyerbuan Gajah Mada.Kalau semua cerita itu benar, kemungkinan mereka adalah suku melayu tua yang belum menyingkir (masih tinggal di pesisir), atau mungkin juga suku melayu muda yang kemudian bergabung dengan Melayu tua di pedalaman.
Sebenarnya suku Gayo adalah suku yang sudah sangat lama menetap di Aceh, ditemukan tengkorak manusia purba di goa-goa Kebayakan yang sudah ada sejak tahun 270 Masehi. Dari raut wajah nampaklah bahwa suku Gayo adalah suku Melayu Tua, dan sangat cocok apabila dikatakan bahwa mereka adalah penduduk asli Aceh. Budaya dan Bahasa Gayo sangat berbeda dengan suku Aceh, yang sangat aneh ditemukan suku di Taiwan yaitu suku Ami dan Naluwan yang Bahasa, cara berpakaian serta wajahnya sangat mirip dengan suku Gayo di Aceh. Dalam Bahasa Melayu “gayo” berarti “indah”, sedangkan menurut kekeberen dari Gayo, “gayo” berasal dari “gaib” ataupun berasal dari “pegayon” yang artinya “mata air”. Boleh juga Gayo berasal “gayoni” yang berasal dari arca Hindu yaitu Lingga dan Yoni yaitu dua symbol yang tak dapat dipisahkan, karena diperdapatkan kerajaan Linge di Gayo, tempat arca Lingga-Yoni berada. Dalam buku Gadjah Putih diceritakan Meurah Silu (Malikussaleh) berasal dari Gayo bahkan kalimat “Meurah” masih dipakai dalam nama-nama di Gayo.Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beristrikan putri Gayo yang melahirkan putra mahkota Meurah Pupok. Di masa sultan Alaidin Riayat Syah Alqahhar (1537-1565) suku Gayo di kelompokkan kedalam suku 300 (sukee lhe reutoih) karena jumlah mereka 300 yang berada di Aceh Besar pada masa itu, bahkan Raja Linge XIII menjadi Menteri Perang, yang kemudian menjadi penasehat sultan Johorserta kawin dengan puteri sultan Johor mempunyai dua orang putra; Bener Meri dan Segenda. Ikon kerajaan Aceh adalah Gajah Putih yang merupakan hadiah dari Segenda (raja Linge XV) kepada sultan Alaidin Riayat Syah.
B. Tamiang
Suku Tamiang adalah suku yang mendiami timur Aceh pantai utara, daerah ini berbatasan langsung dengan Sumatera timur yang berbahasa Melayu. Bahasa suku Tamiang pun berbahasa Melayu tapi agak bercampur sedikit dengan logat Aceh. Dari raut muka dan tempat tinggal dapat diyakini bahwa mereka adalah etnis Melayu muda (Deutero Malay). Kerajaan Tamiang dulunya bernama Benua yang belum Islam. Raja Benua pra islam yang terakhir adalah raja Dinok (1300-1330) tewas dalam penyerangan Samudera Pasai tahun 1330 atas perintah Sultan Ahmad Malikuzzahir (1326-1349), setelah mengalahkan Benua dan mengislamkan penduduknya, sultan Pasai melantik Muda Sedia (1330-1352) turunan raja Peureulak sebagai raja Benua, karena raja ini mempunyai belang dipipinya (tompel /tupuen) maka beliau juga dikenal dengan nama raja Hitam Mieng yang berubah menurut dialek setempat menjadi Tam Miang, kemudian kerajaannya disebut Tamiang walaupun secara administrasif masih bernama Benua.
Sayang kerajaannya tidak berumur lama, kekalahan Maja Pahit (expansi ke Pasai ke II) oleh Sultan Zainal Abidin membuat Gajah Mada malu pulang ke Jawa, akhirnya ia mencaplok wilayah kerajaan Benua dan mendirikan kerajaan Maja Pahit orang Aceh menyebutnya Manyak Payed. Pemerintahan Gajah Mada yang Hindu membuat rakyat jengkel apalagi ia memerintahkan menyembah depannya sebagaimana adat di Jawa, tentu saja rakyat yang kebanyakan sudah Islam tidak mau melakukannya, apalagi di Bayeun ada Dayah yang sudah terkenal di tahun 1106 M di masa tgk chik Mahmud Syah Alam yang berelar Tgk Bandar Khalifah, yaitu Zawiyah Cot Kala Desa Aramiah (dari kata-kata Arab minah = orang Arab yang pindah), sehingga banyak rakyat yang mengungsi ke pedalaman, tentu saja hal tersebut membuat Gajah Mada marah, maka ia melirik kerajaan Benua.
Gajah Mada mengirim utusannya untuk menghadap raja Muda Sedia guna menyatakan bahwa akan melamar Putri raja Muda Sedia yang terkenal cantik yang bernama Mega Gema (Pomala Jadi) untuk diperistri oleh prabu Hayam Wuruk, dan akan memerdekakan Benua dari Samudera, raja Benua meminta tempo satu hari untuk bermusyawarah.Sewaktu utusan tersebut datang kembali,raja Muda menjamu utusan tersebut dengan hidangan yang isinya bukan makanan tapi intan berlian, utusan tersebut merasa heran karena raja Muda mempersilakan makan intan berlian, kemudian raja bertitah bahwa “apa yang Maja Pahit tawarkan memang bagus tapi kami tidak bisa menerimanya ibarat permata walaupun indah tapi tidak bisa dijadikan makanan, sebab kami dengan Samudra ibarat tubuh yang satu, dan lamaran Hayam Wuruk tak bisa dipenuhi karena orang Islam tidak boleh kawin dengan kafir”.
Kemudian utusan itu pulang dan bercerita kepada Gajah Mada maka ia marah dan berkata “bakar kerajaan Benua”. Peperanganpun terjadi, pasukan Maja Pahit menyerang benteng Benua, tetapi Laksamana Kantommana mampu mengalahkan pasukan Maja Pahit sehingga pasukan Maja Pahit membuat kemah di sebuah pulau. Raja Muda memerintahkan kepada mangkubuminya agar segera membuat kapal untuk menyerang Gajah Mada sebelum bantuan dari Jawa datang, dicarilah kayu yang besar untuk membuat kapal, ditemukanlah pohon Medang Ara yang sangat besar, desa itu kemudian dinamakan Medang Ara, penebanganpun dimulai tapi Cuma kulitnya saja yang terkelupas, para penebangpun istirahat besoknya sewaktu akan melaksanakan tugas kembali para penebang heran karena kulitnya sudah menyatu kembali, akhirnya Mangkubumi bermimpi bahwa “pohon itu tak boleh ditebang karena pohon tersebut Benuangnya kerajaan Tamiang, kalau pohon ditebang maka Tamiang akan kalah”. Tapi Mangkubumi tidak mempercayai mimpi tersebut, agar tidak diganggu lagi maka dilaksanakan kenduri sebelum pohon ditebang, hujan deraspun datang sehingga pohon itu tumbang dan hanyut ke Pulau Sembilan. Gajah Mada yang sedang menanti bantuan di Pulau Sembilan bermimpi “agar mengambil Benuang Tamiang di pantai guna dijadikan kapal untuk menyerang Tamiang, dan sebagai peluncurnya ketika diturunkan ke laut adalah Sembilan orang Tamiang”. Maka Gajah Mada pun membuat kapal dari pohon tersebut dan sewaktu akan diturunkan kelaut ia menculik 9 orang nelayan Tamiang untuk dijadikan bantalan peluncuran, sebab itulah dinamakan Pulau Sembilan. Setelah kejadian tersebut dilaranglah memotong pohon Medang Ara.
Raja Muda terus mempersiapkan tentaranya untuk menjaga pantai serta meminta bantuan ke Samudra untuk menghadapi Maja Pahit. Ternyata Gajah Mada yang sudah mengetahui pantai dijaga dengan ketat, dia tidak mau mengambil resiko, diculiklah nelayan Tamiang untuk ditanyai dari mana masuk ke istana tanpa di ketahui oleh pasukan penjaga pantai, akhirnya Gajah Mada masuk melalui sungai kecil di koreklah sungai tersebut agar bisa masuk kapal-kapal perang, sungai tersebut dinamai Sungai Kurok (sungai yang digali), akhirnya Gajah Mada menyerang istana, pasukan penjaga istana sangat terkejut karena tiba-tiba pasukan Gajah Mada telah mendekati istana, pengawal istana memberitahukan kepada raja, tapi raja tidak mempercayainya karena panglima laut belum memberi tahukan adanya pasukan Maja Pahit, perang pun berkecamuk tapi karena pasukan yang besar sudah dikerahkan kepantai semua maka pertahanan pasukan penjaga istana dengan mudah dapat dipatahkan oleh Gajah Mada, setelah pintu gerbang roboh raja Muda baru mempercayainya, pengawal langsung melarikan raja dan permaisurinya (Lindung Bulan putri sultan Ahmad Malikuzzahir raja Pasai ke: 4) melalui lubang yang telah dipersiapkan, tapi karena buru-buru raja terlupa putrinya. Mega Gema yang tak sempat lari bersembunyi tapi ditemukan oleh pasukan Maja Pahit. Setelah mengambil rampasan perang istanapun dibakar . Raja Muda Sedia lari ke hulu sungai Tamiang dengan perahu melalui Sungai Tampur, rakyat yang mengetahui raja mereka sudah kalah ikut menyertai raja mengungsi ke hulu, setelah dianggap jauh raja Muda memimpin rakyatnya bergotong royong membendung sungai agar Gajah Mada tidak bisa menyusul, batu-batu besarpun di lempar.Setelah dianggap aman raja Muda Sedia berkhulwah (kalut) dalam sebuah gua tapi beliau menghilang tak pernah kembali lagi. Lama kelamaan batu pembendung sungai tersebut jebol dan membentuk seperti goa yang dinamakan Lehong.
Gajah Mada yang telah mendapatkan kemenangan mengerahkan pasukannya dan para tawanan menuju ke pantai dan beristirahat sambil merayakan kemenangan. Bangsawan Pasai Tgk Ampon Tuan (tunangan Mega Gema) kebetulan berada di Benua, begitu mendengar kehancuran Benua dan ditawannya Mega Gema ia langsung menuju ke istana, tapi yang dilihatnya adalah puing-puing istana yang hangus, bekas istana tersebut dinamakanlah Benua Tunu (terbakar) , Tgk Ampon terus menyusul pasukan Maja Pahit untuk menyelamatkan sang putri, pasukan Maja Pahit yang sedang bermabuk-mabukan di satu tempat mendapat kunjungan Tgk Ampon Tuan yang menyamar sebagai penjual buah-buahan, beliau memainkan Nafiri untuk menghibur Pasukan Maja Pahit, disaat prajurit sedang lengah langsung beliau melarikan putri Mega Gema, tempat tersebut dinamakanlahBukit Selamat(Mereka kemudian menetap di Keureuto).Pasukan Maja Pahit yang mengejar Ampon Tuan dihadang oleh pasukan Muda Sidinu sehingga terjadilah pertempuran hebat, karena sudah datang bala bantuan dari Aru dan Pasai sehingga pasukan Maja Pahit terpaksa mundur ke laut, tempat tersebut dinamakan Serang Jaya.
Kemudian, bala bantuan kapal laut dari Pasaipun datang bergabung dengan pasukan penjaga pantai Tamiang. Dalam waktu bersamaan bala bantuan Maja Pahit dari Jawapun datang, mereka pasukan bersenjata lengkap disertai dengan baju besi, karena belum mengetahui letak pasukan Gajah Mada mereka membuat pangkalan sementara dinamakanlah tempat tersebut Pangkalan Susur (susul=karena mereka menyusul kawannya) akhirnya berobah menjadi Pangkalan Susu, setelah mengetahui arah pertempuran merekapun berangkat, rakyat yang sudah mengintai pasukan tersebut bersorak-sorak “pasukan Besi datang” dinamakanlah tempat tersebut Besi Datang kemudian berobah menjadi Besitang. Perang besarpun terjadi sehingga mayat mayat tertumpuk-tumpuk tak ada yang menguburi, dinamakanlah tempat itu Tambun Tulang. Walau Maja Pahit mampu mengalahkan koalisi pasukan Aru, Tamiang dan Pasai, tapi akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke Jawa dengan membawa tawanan perang dari Tamiang dan Aru.Menurut satu cerita Gajah Mada berhasil di tewaskan oleh pasukanMangkubumi Muda Sidinu dan jasadnya dikuburkan di Tambun Tulang sedangkan kepalanya di bawa pulang ke Jawa.
Setelah kejadian ini tamatlah dinasti Muda Sedia, Setelah itu kerajaan Karang pun dibuka. Dimasa ratu Kamalat Syah (1678-1699 M) Benua di hidupkan kembali oleh Po Nita yang mengaku turunan Muda Sedia, karena Muda Sedia gaib dalam gua maka rakyat menganggapnya aulia sehingga turunannyapun dipuja-puja maka ramailah kerajaan Benua Tunu, hal tersebut tentu membuat raja Karang marah dan melapor kepada Kamalat Syah agar menghukum Po Nita yang telah membuat kerajaan diwilayahnya, Ratupun memanggil mereka berdua ke Banda Aceh untuk disidangkan, sambil menunggu persidangan tersebut Po Nita dan raja Karang duduk di Balai Rum, terjadilah peristiwa yang menakjubkan, di halaman istana ada anak gajah yang sedang bermain, lewatlah dayang istana yang membawa buah-buahan untuk para tamu, anak gajah tersebut meminta buah-buahan yang di bawa oleh dayang, karena dayang tidak memberi, anak gajah itu mengejar sang dayang , dayangpun menjerit-jerit minta bantuan, dengan serta merta Po Nita melompat dan menarik ekor anak gajah tersebut sehingga gajah tersungkur, kejadian tersebut membuat Ratu Kamalat Syah ta’jub sehingga membatalkan rencananya untuk menghukum Po Nita, untuk menghindari perang antara kerajaan Karang dengan Benua maka Kamalat Syah membagi Tamiang menjadi dua wilayah yaitu Keujruen Karang(orang Tamiang menyebutnya kejuruan) dan Keujruen Muda (Kejuruan Muda), pemisah keduanya ialah Sungai Tamiang.
C. Singkil
Kalau Tamiang di pantai utara maka Singkil berada dikawasan selatan yang berbatasan langsung dengan Batak, sehingga bahasa Singkil agak dekat dengan Batak. Singkil terkenal dengan kapur barusnya sehingga Bandar Singkil sudah dikenal semenjak 400 tahun sebelum Masehi. jadi Singkil sudah masyhur sebelum datangnya suku Melayu Muda berarti penduduk Singkil adalah suku Melayu Tua (Proto Malay). Singkil sudah mengadakan hubungan dengan Arab dan Parsi sebelum Islam, maka tidak mustahil adanya pendapat yang mengatakan Singkil adalah tempat mulanya Islam masuk dinusantara, apalagi ditemukan kuburan bertulisan Arab yang lebih tua daripada yang ditemukan di Peureulak yaitu kuburan Rukunuddin. Menurut satu cerita sewaktu pendakwah Islam ingin mengislamkan penduduk Singkil, mereka meminta penghulu di Singkil menghimpun rakyatnya, ternyata ajakan masuk Islam disambut dengan baik oleh seluruh rakyat dengan ucapan “sekel (menerima)” kemudian disebutlah Singkil. Nama Singkil sudah terdapat dalam peta Petrus Pancius di tahun 1542 M dengan nama “Sinckel” dan Tome Pires seorang Portugis abad ke 16 M menulis “Chingulle” atau “Quinchell” sedangkan orang Arab dan Parsi menyebutnya “Fansur”, sebagai bukti, dua sosok ulama terkenal yang berasal dari Singkil di nisbahkan dengan Fansuri yaitu: Syekh Hamzah Fansuri dan kemenakannya Abdurrauf Alfanshuri (Syiah Kuala).
D. Alas
Diceritakan bahwa Kuta Cane dulunya adalah sebuah danau, namun setelah meletusnya gunung Batu Gajah air danau tersebut mengering, dilembah danau itu tumbuhlah pohon Talas yang banyak, dinamakanlah Lembah Talas kemudian berubah menjadi Lembah Alas, ada juga yang mengatakan bahwa Alas dari kata-kata Alas (dasar sesuatu) karena penduduk tersebut menetap di dasar bekas danau. Kemudian berdatanganlah penduduk ke lembah tersebut dari Batak dan Linge sehingga jadilah suku Alas. Kekerabatan mereka dengan Batak dan Gayo membuktikan mereka adalah etnis Proto Malay. Setelah hancurnya kerajaan Benua oleh Maja Pahit, Benua sempat dikuasai oleh orang Alas, yaitu oleh raja Pendekar maka berdirilah dinasti Pendekar di Tamiang.
E. Aneuk Jame
Diceritakan bahwa sekelompok orang dari Minang melakukan pelayaran, kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836). Sampai di Teluk Pasir Karam, pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh. Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu. Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana. Pendatang tersebut dinamakan suku aneuk jame (tamu) atau suku jame-jame. (Orang Minang tergolong juga kedalam etnis Melayu Muda). Tapi kebanyakan mereka menetap di sekitar Labuhan Haji, mungkin karena Bandar tersebut sangat maju setelah dibuka menjadi pelabuhan untuk jamaah haji bagi yang datang melalui pantai selatan oleh ratu Safiatuddin Syah (1641-1675 M) sehingga dinamakanlah Labuhan Haji, sedangkan bagi yang datang melalui pantai utara dibuka di Ulee Lheu.Dikarenakan seluruh jamaah yang akan naik haji dari nusantara terpaksa singgah di dua pelabuhan tersebut untuk transit sekaligus belajar agama bila perlu terkenallah Aceh dengan Serambi Mekah, karena fungsi Aceh dengan Mekah bagi jamaah haji ibarat serambi sebuah rumah bagi yang akan masuk kerumah. Diceritakan gara-gara istilah Serambi Mekah tersebut lahirlah ajaran sesat di Aceh yang diajarkan oleh seorang Teungku yaitu: bagi yang akan naik haji tapi sudah terlambat tidak perlu menunggu tahun depan tapi cukup dengan berhaji di Aceh ditempat yang dituntun oleh teungku tersebut kemudian sudah boleh pulang kenegrinya dan sudah boleh menyandang titel “haji” karena Aceh adalah Serambi Mekah.
F. Daya/Lamno
Sebenarnya penduduk Daya adalah suku Aceh juga tapi karena terjadi percampuran dengan suku lain maka terjadi perbedaan dialek disana-sini. Diceritakan penduduk asli Lam No adalah Bangsa Lanun yang masih liar, orang Aceh menyebut mereka bangsa Lhan. Karena mereka sering turun ke Pekan dengan menggunakan astribut orang liar, maka orang Aceh menyebut Peukan Lhan Na artinya Pekan yang ada suku Lanun, kemudian diera penjajahan Belanda berobah menjadi Lamno.
Diceritakan juga bahwa Sultan Salatin Alauddin Riayat Syah putra Sultan Inayat Syah (kakek dari Ali Mughayat Syah sultan Aceh pertama) berlayar, tiba-tiba perahunya kandas dan tidak dapat digalahkan karena bambu galah tertanam maka sultan berkata “daya hana upaya le (tidak ada daya dan upaya lagi)” maka diapun mendarat dan mendirikan negri disitu, mengembangkan Islam dan menamakan tempat itu Daya, ketika beliau meninggal diberi gelar Poteu Meuruhom Daya (tertulis dengan bahasa Arab Almarhum Daya).
Diceritakan juga ada sekelompok orang Daya ingin pergi Krueng Raba (Lhok Nga), begitu sampai di puncak gunung yang tinggi mereka kehausan dan air yang dibawa juga telah habis, salah seorang dari ketua mereka memberitahukan bahwa ada air di situ, tentu banyak yang ragu mana mungkin di puncak berbatu ada air, tapi salah satu dari mereka mengatakan ” guree leubeh thee (guru lebih tau)” ternyata memang diperdapatkan kolam disitu seperti guci yang airnya tidak kering sampai sekarang, yang namanya Mon Cinu (sumur Gayung) akhirnya gunung itu dinamakan Guree Thee, akhirnya berubah menjadi Gurutee.
G. Aceh
Suku Aceh adalah penduduk terbanyak di propinsi Aceh, suku ini semuanya berdomisili di pesisir Aceh, dari postur tubuh, raut wajah, bahasa, dan tempat tinggal yang berbeda dengan suku Gayo, Alas dan Singkil dapat dipahami bahwa suku Aceh adalah tergolong kedalam etnis Melayu Muda (deutero Malay). Kalau dibanding dengan suku Aceh di pantai selatan, wajah dan warna kulit suku Aceh di pantai utara lebih beragam, sedangkan di pantai selatan wajah Melayu Muda lebih terlihat jelas, suku Aceh dipantai selatan sangat mirip dengan suku Melayu Muda lainnya terutama di pulau Sumatera seperti: Palembang, Minang, Riau, Jambi dll. Hal ini membuktikan telah terjadi perkawinan antar bangsa di pantai utara. Kemungkinan tersebut memang bisa dibuktikan, sebagaimana pengakuan Marcopolo (1292 M) bahwa ia melihat banyak orang Saraceen (Arab/ Parsi) di Samudera dan banyak Hindia Keling di Peureulak, juga pengakuan Ibnu Bathutah (1346 M) bahwa beliau bertemu dengan syahbandar bernama Bohruz , Qadhi kerajaan Amir Said dari Syiraz dan Tajuddin dari Isfahan di Samudera mereka semua asal Parsi. Juga I-Tsing seorang biksu tiongkok yang melakukan perjalanan di tahun 671 M menceritakan kerajaan Possu, dalam dialek Cina Possu adalah Parsi, tapi kalau Parsi yang sebenarnya tidak mungkin karena I-Tsing tak pernah kesana, kemungkinan Possu adalah perkampungan orang Parsi yang berada di utara Sumatera, boleh jadi Possu adalah Pasai, karena letaknya di pantai utara Sumatera. Mungkin I-Tsing banyak melihat orang Parsi di Pasai, sehingga kemudian dari kata Parsi berubah menjadi Pasai, kalau ini benar berarti Malikussaleh bukan pendiri Pasai, tapi salah satu dari raja-raja Pasai.
Kerajaan Samudera pernah diserang oleh Maja Pahit. Tetapi terdapat dua sumber yang sangat berbeda antara Hikayat Raja Pasai dan Tarikh Atjeh, jadi penulis berkesimpulan penyerangan Maja Pahit terjadi dua kali yang pertama dimasa Ratu Tribuwana Tungga Dewi (1328-1350) dan dimasa Hayam Wuruk (1350-1389) yang keduanya dipimpin oleh Patih Gajah Mada (1336-1364).
Menurut diceritakan dalam hikayat raja Pasai terjadi penyerangan Maja Pahit dimasa Sultan Ahmad Bahian Syah Malikuzzahir (1326-1349).Perang tersebut sangat dahsyat, karena Maja Pahit mengirim sekitar 400 Jung (kapal laut), tapi selama tiga bulan Maja Pahit Cuma bisa menguasai pantai, akhirnya peperangan dipimpin langsung oleh patih Gajah Mada dengan tambahan pasukan yang sangat banyak, terjadilah perang dahsyat selama tiga hari yang mengalahkan Pasai, Walaupun sultan Ahmad Malikuzzahir berhasil melarikan diri (dalam hikayat raja Pasai disebut ke daerah Menduga, mungkin di Lubuk Tuwe),namun Gajah Mada berhasil menangkap putrinya yaitu putri Cermen (mngl 1391 M) kuburannya ditemukan di Leran – Gresik, Putri Cermen dijadikan istri oleh Batara di Maja Pahit melahirkan seorang putra yang kawin dengan putri raja Bali dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Joko Samudro (sunan Ampel menukar namanya menjadi Raden Paku kemudian menjadi Sunan Giri). Sebelum kembali ke Jawa, Maja Pahit mengangkat kakak putri Cermen menjadi ratu dibawah pengawasannnya yaitu Ratu Nur Ilah (mngl 1380 M) atau Al Ala (bukan Al A’la) atau Al Alah (perbedaan nama-nama tersebut terjadi karena pahatan nama dibatu nisan sudah kurang jelas), kuburannya di temukan di desa Minje Tujoh Matang Kuli, bertuliskan aksara Jawa kuno di batu nisannya, padahal batu nisan raja-raja Pasai sebelumnya semuanya memakai huruf Arab, membuktikan masih kentalnya pengaruh Maja Pahit. Dalam hikayat raja Pasai diceritakan bahwa “tawanan perang yang dibawa ke Jawa sangat banyak, tapi sampai di Jawa sang Ratu memberi izin kepada para tawanan untuk tinggal dimana saja, itulah mengapa banyak keramat di Jawa”.
Penyerangan selanjutnya dimasa raja Samudera yang ke:5 bergelar Sultan Zainal Abidin Malikuzzahir (1349-1406)) menggantikan ayahnya dan tidak lagi tunduk di bawah Maja Pahit hal tersebut membuat prabu Hayam Wuruk mengirim patih Gajah Mada. peperangan dilaut pun terjadi yang dimenangkan oleh Samudera, kemudian Gajah Mada mengatur strategi baru, ia memundurkan pasukannya kemudian masuk melalui kuala yang sungainya sangat luas sehingga mereka menamakan dengan Sungai Raya, kemudian Gajah Mada membuat benteng pertahanan di satu bukit, bukit tersebut dinamakan Bukit Jawa, orang Aceh menyebut untuk Gajah Mada adalah Gajah Meta (mengamuk), tempat pasukan Gajah Mada pernah bermarkas di namakan desa Gajah Meta, diera penjajahan Belanda ditulis Gajah Mentah estate sampai sekarang desa itu bernama Gajah Meuntah. Setelah merasa siap Gajah Mada memulai perjalanan menyerang Samudera, karena sudah mengetahui penyerangan tersebut raja Zainal Abidin juga mengirim tentaranya untuk menghadangi Maja Pahit. Guna melemahkan Pasukan Maja Pahit maka pasukan Samudera melakukan sabotase terhadap Maja Pahit yang sedang beristirahat di satu tempat di Peureulak, dengan cara menumpahkan nasi-nasi yang telah mereka masak kedalam alur, tempat tersebut dinamakan Alue Bu (alur nasi). Setelah itu baru pasukan Samudera menyerang, karena kelaparan pasukan Maja Pahit terus mundur sampai disatu paya yang luas, disitulah pasukan Samudera menghancurkan pasukan Maja Pahit, sampai-sampai Gajah Mada terjatuh ke paya tersebut, tempat tersebut dinamakan Paya Gajah. Dengan pasukan yang tersisa Gajah Mada mundur hingga ke Sungai Raya, disitulah ia memikirkan strategi selanjutnya. Karena merasa tak mampu lagi menyerang Pasai maka ia mengambil keputusan untuk menawan putri raja Tamiang sebagai cindera mata buat prabu Hayam Wuruk, selanjutnya ia menduduki Manyak Payed.
Diceritakan bahwa Sultan Zainal Abidin membuat undang-undang persamaan hak dan perkawinan silang antara penduduk asli dengan pendatang dari Persia dan Hindia. Dari hasil perkawinan silang tersebut maka lahirlah suku baru yang disebut dengan bangsa Aca (dari bahasa Sangsekerta yang berarti ” baik” karena tidak ada dari suku tersebut yang tidak Islam), sehingga kerajaannya disebut Samudra Aca, akhirnya berobah menjadi Aceh, berdasarkan cerita ini Samudralah yang pertama disebut Aceh. Maka tidaklah mengherankan apabila suku Aceh khususnya yang di pantai utara mempunyai warna kulit dan postur yang beragam.
Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) raja Meukuta Alam (Banda Aceh) sangat membenci Portugis, apalagi Portugis telah bersekutu dengan raja Daya, Pidie, Pasai dan Aru keinginannya untuk menghancurkan Portugis dimulai dengan menyerang Daya (1520 M), raja Daya yang kalah lari bersama Portugis ke Pidie, namun sultan Ali menyusul, Pidie pun dapat dikalahkan. Raja Pidie dan raja Daya bersama Portugis lari ke Pasai, sultan Ali pun menyerang Pasai akhirnya raja Pidie, Daya dan Pasai pun takluk (1524 M). Portugis yang tinggal sedikit lagi melarikan diri ke Aru ( Langkat), Aru pun diserang (1525 M) dan takluk dibawah sultan Ali Mughayat Syah. Kemenangan sultan Ali memang luar biasa, maka diadakanlah selamatan atas kemenangan tersebut yang dilaksanakan di Samudra Pasai guna memudahkan perjalanan raja-raja taklukan, kemudian dibuatlah satu kesepakatan bahwa Aru, Pasai, Pidie, Daya, dan kerajaan kecil lainnya di Aceh Besar (Darul Kamal, Daruddunya dan Darussalam) berada dibawah satu kerajaan induk yang berpusat di Banda Aceh dengan nama ” Aceh Darussalam” boleh jadi kata-kata Aceh diambil dari gelaran Samudra Pasai.
Menurut Van Langen kata-kata Aceh juga berasal dari “Aca” tapi ceritanya berbeda, kerajaan Hindu di Aceh besar (mungkin Lamuri) mempunyai sungai bernama krueng Ceudah (artinya bagus), pada satu hari sebuah kapal dari Gujarat memasuki sungai Ceudah untuk berdagang, ketika awak kapal turun kedarat sampai di kampung Pandee tiba-tiba datanglah badai serta hujan, mereka berteduh dibawah pohon yang berdaun rindang, mereka lega karena terlidung dari hujan seraya mengucap Aca…aca . ketika mereka berada di Pidie bertemulah dengan perahu dari sungai Ceudah, mereka bertanya kepada awak perahu tersebut “apakah tadi singgah di kampung Badai?” Awak perahu menjawab “ya” kemudian orang dari Gujarat tersebut berkata “Aca..Aca”. berdasarkan cerita ini maka Lamurilah yang pertama dinamakan dengan Aceh. Akibat diserang oleh Cola (1024 M) kemudian Maja Pahit (1360 M) kemudian Cheng Ho (1414 M) Kerajaan Lamuri melemah kemudian pecah menjadi kerajaan kecil-kecil diantaranya Darul Kamal, Meukuta Alam, Daruddunya dan Darussalam kemudian Sultan Ali Mughayat Syah mempersatukannya kembali dinamakanlah Aceh Darussalam. Berdasarkan cerita ini penamaan Aceh Darussalam tidak ada sangkut pautnya dengan Samudera. Menurut hemat penulis cerita inilah yang lebih mendekati Karena menurut catatan seorang biksu Tiongkok I-Tsing (675 M) ada negri yang bernama A-tsin atau Acin yang letaknya di pesisir Sumatera, mungkin itu adalah kerajaan Lamuri yang disebut oleh orang Gujarat Aca, jadi di abad ke 7 M sudah ada kerajaan yang terkenal dengan nama Aceh jauh sebelum sultan Zainal Abidin membuat peraturan. Lagi pula kaisar Tiongkok Wang Mang (1-6 M) pernah mengirim bingkisan untuk kerajaan Huang Che, bingkisan tersebut dibalas oleh Huang Che dengan barang ekspor yang terkenal di Aceh. Boleh jadi Wang Mang menyebut Aceh dengan Huang Che karena banyak sejarawan beranggapan bahwa Huang Che adalah Aceh. Hal seperti ini biasa terjadi diketika menyebut nama Negara asing, buktinya kita menyebut Qahirah dengan kairo, English menjadi Inggris, Holland menjadi Belanda, Furus menjadi Parsi dll, bahkan kadang-kadang sangat jauh dari nama aslinya seperti: Urdun menjadi Yordania .Kalau ini benar, sebutan Aceh sudah ada semenjak abad ke 1 M jauh sebelum Islam. Menurut Van Langen kerajaan Hindu Aceh dulu bukan saja sebatas wilayah Aceh Besar sekarang tapi meliputi Pidie bahkan sampai ke Pasai.
Adalagi cerita yang bukan bersumber dari ahli sejarah, bahwa Aceh berasal dari bangsa Achemenia yang hidup + 2500 SM, yang mendiami bukit kaukasus. Berdasarkan cerita ini diceritakan bahwa bangsa tersebut adalah nenek moyangnya bangsa Parsi, tapi yang penulis dapati dalam sejarah Persia: Parsi didirikan oleh Achemene seorang kepala suku di Furus sekitar tahun 700 SM, Persia jadi sebuah Negara tahun 650 SM, ditahun 559 SM Cyrus (dalam bahasa parsi Qurusy bukan Quraisy) menyatukan Persia dan Anshan, turunan inilah yang dinamakan Achemenia ( dalam bahasa Arab: Akhminiyah) , dinasti Cyrus disebut Achaemenid (bahasa Arab:Akhminiun),dan bangsa Persia berasal dari Irak bukan dari Kaukasus. Wallahu A’lam. kemudian bangsa Parsi tersebut merantau ke pulau Ruja di masa Darius, tidak jelas apakah itu Darius I (522-486 SM) atau Darius II (424-404 SM) atau Darius III (335-330 SM) kemungkinan adalah Darius III karena pada masa ini dikalahkannya Persia oleh Alexander, karena kebiasaan rakyat yang kalah banyak yang melarikan diri karena takut diperbudak. Di karenakan kekuasaan Persia sudah sampai ke India maka sangat mungkin bagi orang Persia untuk berlayar ke pulau Ruja (Sumatera). Kemudian para perantau Persia ini membuat perkampungan di Pulau Ruja, turunan mereka dinamakan Aceh. Dalam cerita ini diceritakan juga bahwa bangsa Parsi tersebut juga membangun kerajaan Samudra Pasai (Samudra Parsi). Berdasarkan cerita ini kata-kata Aceh berasal dari “Akhe”( sengaja ditulis dengan huruf “Kh” untuk membuka wawasan bagi pembaca bahwa ejaan Eropa “Ch” di sini dibaca “Kh”, bukti yang lain Cyrus bahasa Parsinya Kurus, Cairo bahasa Arabnya Qahirah, Achemenia bahasa Arabnya Akhminiyah). dan tidak ada hubungannya dengan Samudera dan Lamuri, bahkan istilah Aceh sudah ada sebelum Masehi, walaupun tidak didukung oleh bukti sejarah tapi hal tersebut mungkin saja terjadi. Kalau begitu berarti etnis Aceh bukan suku Melayu, untuk membuktikannya sangat sulit karena kalau ditinjau dari bahasa, postur dsb tidak bisa dibantah bahwa Aceh memang Melayu, atau boleh jadi suku Aceh adalah orang Melayu yang bercampur dengan pendatang dari Persia. Didapati beberapa kosa kata dalam bahasa Aceh yang berasal dari Parsi membuktikan bahwa hal tersebut memang telah terjadi, diantaranya meurah yang berasal dari bahasa Parsi Mohrat =” mulia” dijadikan nama raja-raja di Aceh terutama di Pasai, bahkan salah satu kecamatan di Aceh Utara ada yang bernama Meurah Mulia, kemudian Syah = Penguasa juga dari bahasa Parsi, dipakai bagi kebanyakan nama-nama raja, Wallahu a’lam.
“Sejarah adalah masa lalu, tidak ada yang mengetahui dengan pasti sebuah masa lalu selain si pelaku sejarah sendiri, adapun yang hidup sesudah masa tersebut Cuma bisa mereka-reka saja dari bukti-bukti yang ditemukannya, jadi kebenaran sebuah sejarah adalah sejarah yang berlandaskan kepada bukti-bukti yang kuat walaupun pada kenyataanya bukan begitu, adapun sejarah yang tidak berlandaskan kepada bukti-bukti kurang bisa dipercaya walau begitulah kenyataannya”.
Jadi untuk mengetahui dari mana asal suku Aceh dengan pasti dan dari bahasa mana asal kata-kata Aceh, tidak perlu terlalu dipolemikkan karena tidak akan pernah ditemui titik temu yang meyakinkan semuanya adalah kemungkinan-kemungkinan saja, semua itu ibarat melepaskan benang yang kusut yang takkan ditemukan ujungnya.
Akhirul kalam semoga tulisan ini menambah khazanah sejarah bagi pembaca, dalam tulisan ini memang banyak hal-hal yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah mungkin karena berasal dari cerita rakyat atau hikayat yang bercampur antara sejarah dan dongeng, maka kalimat “diceritakan” penulis pakai untuk memberitahukan hal tersebut. WABILLAHI TAUFIQ WAL HIDAYAH.
Ditulis oleh: Tgk Zulfahmi MR, di Cot Trueng; 1 January 2016
Penulis adalah staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma’arif Cot Trueng – Muara Batu- Aceh Utara