raudhatulmaarif.com | Abu Teunom. Ulama Bireun yang sangat dekat dengan berbagai macam kalangan dan lapisan masyarakat ini mempunyai nama asli Muhammad Basyah bin Hasan bin Hanafiah. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan panggilan Walidi atau Abu Teunom. Di panggil Walidi karena sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Aceh memanggil kepada tokoh ulama di tempat mereka dengan sebutan, Waled, Abu, Aba atau Walidi. Ulama Bireun ini biasanya di panggil masyrakat dengan sebutan Walidi. Beliau di panggil Abu Teunom di sebabkan semasa beliau belajar di Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga di panggil oleh kalangan santri, teman-teman dan guru beliau dengan sebutan Teungku Teunom (Abu Teunom), karena sudah menjadi tradisi dalam lingkungan dayah, memanggil nama seseorang itu dengan nama tempat dasarnya. Sehingga kadang nama sebutannya lebih di kenal ketimbang nama aslinya, di karenakan kampung asli beliau berasal dari Teunom, Kabupaten Aceh Jaya.
Riwayat jenjang pendidikan yang pernah ditempuhnya sebagaimana yang di sampaikan putera beliau Al Furqan adalah, Sekolah Rakyat (SR) di Teunom Jaya. Kemudian melanjutkan pendidikannya Ke Labuhan Haji Aceh Selatan pada Teungku Abdul Hamid Krueng Batee dan setelah menetap di Labuhan Haji lebih kurang selama 6 tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Dayah Mesjid Raya Samalanga yang pada saat itu di pimpin oleh Teungku Abdul Aziz Samalanga. Di dayah Mesjid Raya Samalanga selain juga menjadi guru dayah di tempat beliau belajar, juga mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA 1 Samalanga.
Tahun 1972 , Teungku Muhammad Basyah berkeluarga dengan ummi Nurbaiti di Bireun. Sejak itu Abu Teunom menetap di Bireun bersama istrinya yang di panggil dengan nama Walidah. Setahun kemudian (1973) Teungku Muhammad Basyah merintis mendirikan sebuah Dayah di desa Geulanggang Teungoh di Bireun dengan memberikan nama Dayah Darul Istiqamah.
Dalam membangun dayah yang dipimpinnya, tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah, pengembangan dayahnya lebih diutamakan pada swadaya masyarakat. Di samping memberdayakan murid-muridnya untuk berinovatif dan kreatif menciptakan sumber-sumber ekonomi yang bisa menghidupkan dayah. Seperti mencetak buku buku pedoman doa, buku ibadah harian, mencetak kelender, membuat imsakiyah Ramadhan dan lainnya yang kemudian diedarkan pada masyarakat untuk menyumbangkannya. Semua dana sumber masukan itu sepenuhnya digunakan Abu Teunom untuk pengembangan dayah yang dipimpinnya.
Sistem pengajaran yang dianut Abu Teunom ini sedikit berbeda dari sistem kebanyakan ulama-ulama di Aceh lainnya yang mengajar di dayah. Abu Teunom dalam mengajar dan menyurah kitab-kitab yang diajarkan pada santri menggunakan bahasa Indonesia secara teratur dan baik. Dan juga memerintahkan kepada dewan guru yang mengajar di dayah Istiqamah untuk menyurah kitab dengan menggunakan bahasa Indonesia seperti halnya seorang guru menerangkan pelajaran di sekolah dalam bahasa Indonesia, sehingga sangat mudah di pahami oleh santri yang diajarkan seorang guru dayah. Beliau bahkan tidak segan-segan memberikan denda kepada guru-guru yang menyurah kitab dengan bahasa daerah. Begitulah Teungku Muhammad Basyah menerapkan metode sistem pelajaran didayah yang dipimpinnya. Meskipun semua materi pelajaran yang diberikan kepada santri tidak jauh beda dengan dayah-dayah lainnya di Aceh yang menganut sistem Salafiah.
Teungku Muhammad Basyah, adalah salah satu ulama di Bireun yang mendalami ilmu tafsir, di samping menguasai ilmu-ilmu lainnya seperti Tasawuf, Tauhid, Mantiq, Nahwu dan Sharaf. Namun yang sangat menonjol pada dirinya adalah ilmu Tafsir Al-Quran. Hal itu tercantum dari materi-materi pengajian yang beliau berikan, baik di dayah maupun dalam pengajian-pengajian majlis taklim yang pengajarannya lebih menekankan pada pemahaman Tafsir.
Sebagai ulama yang sangat santun, Teungku Muhammad Basyah mampu beradaptasi dengan paham-paham dari golongan lain Ahlulsunnah. Meskipun hal itu kadang bertentangan dengan prinsip keyakinannya sendiri. Karena, menurut Abu Teunom, untuk merubah sebuah keyakinan yang sudah lebih dulu dipahami masyarakat tidak bisa dengan frontalitas, tapi harus dengan pelan-pelan sehingga masyarakat akhirnya mengerti terhadap apa yang dilakukan selama ini kurang tepat dan harus diberikan pengertian kembali untuk memahaminya.
Al Furqan di dampingi ibunya ummi Nurbaiti dan ibunya mengiayakan, mengisahkan bahwa saat pertama Teungku Muhammad Basyah menetap di wilayah Bireun, hampir rata-rata Masjid dan Meunasah saat itu salat Tarawihnya delapan raka’at. Abu Teunom bergabung dan mengikuti delapan rakaat itu, dan Abu Teunom melanjutkannya sendiri setelah delapan sampai 20 raka’at. Masyarakat juga sabar menanti sampai Abu Teunom selesai melaksanakan tarawihnya hingga 20 raka’at. Karena setelah itu Abu Teunom selalu diminta untuk memberikan ceramah setelah tarawih. Demikian pula dalam hal shalat jum’at, juga hampir rata-rata Masjid di Bireun ketika itu menurut Abu Teunom secara Ahlulsunnah kurang sempurna dilihat dari rukun salat jum’at. Ini semua adalah tantangan bagi Abu Teunom sebagai seorang ulama yang baru menjadi warga Bireun.
Namun tantangan itu dihadapi Abu Teunom dengan sangat hati-hati dalam merubah pemahaman di kalangan masyarakat untuk terarah pada pelaksanaan ibadah secara Ahlulsunnah Waljamaah. Hingga akhirnya masyarakat Bireun dapat menerima apa yang didakwahkan oleh Abu Teunom untuk berpandangan secara Ahlulsunnah dalam melakukan ibadahnya dan berhasil secara nyata. Masjid-masjid yang sebelumnya melaksanakan salat tarawih delapan raka’at berubah menjadi 20 raka’at. Khatib jum’at yang sebelumnya tidak memegang tongkat saat memulai khutbah, kemudian hampir rata-rata memegang tongkat dalam khutbah. Dan ini adalah kontribusi paling nyata yang dilakukan Abu Teunom dalam menyatukan pemahaman Ahlulsunnah Waljamajaah dalam masyarakat Bireun akhir tahun 1970-an.
Pendekatan dakwah yang dilakukan Abu Teunom ini sangat persuasif atau secara lemah lembut dan bijak sehingga tidak menimbulkan pertentangan dengan berbagai pihak, sehingga tidak pernah terdengar pada saat Khatib naik ke mimbar di buang tongkatnya, atau mimbarnya hilang, dan ini juga dapat di lihat pada saat pendirian Mesjid dan pelaksanaan jumat di komplek Dayah Istiqamah tidak menimbulkan kegaduhan dan keributan dengan tokoh tokoh yang mempunyai pemahaman yang berbeda, bahkan sebagian besar panitia pembangunan mesjid adalah orang–orang yang masyarakat menyebutnya dengan kalangan Muhammadiyah yang berbeda pemahaman dan keyakinan dengan Abu Teunom.
Teungku Muhammad Basyah juga fasih berbahasa cina, beliau belajar bahasa cina dari seorang pendeta Cina, mereka berteman akrab dan saling mengunjungi walaupun berbeda agama, selain itu Abu Teunom juga mampu menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab dengan baik. Sehingga mampu membuka line dan komunikasi tentang perkembangan dayahnya hingga ke luar negeri. Banyak ulama-ulama dari dari luar negeri seperti Ulama dari Malaysia dan Patani yang datang berkunjung ke dayahnya di Bireun sebagai studi banding mereka terhadap penerapan dan pengembangan ilmu agama islam yang dikembangkan di Dayah Darul Istiqamah pimpinan Teungku Muhammad Basyah ini. Ulama-ulama Patani yang pernah mengunjungi dayah Abu Teunom ini menyatakan tertarik dengan pengembangan ilmu agama Islam yang beraliran Ahlulsunnah Waljamaah yang dikembangkan Teungku Muhammad Basyah.
Tak ada tanda-tanda yang merisaukan, apalagi wasiat dan amanah sebelumnya ketika Teungku Muhammad Basyah pergi ke Banda Aceh sebagai salah seorang pemakalah dalam seminar ulama Insafuddin seluruh Aceh yang berlangsung di Hotel Rasa Sayang Ayu, Banda Aceh tahun 1987. Semua gerak-geriknya selama dalam seminar itu tidak ada yang mencurigakan. Beliau tampil seperti biasa dan bercengkrama sesama ulama lain yang hadir dari seluruh Aceh mengikuti seminar itu. Setelah semua rangkaian pertemuan ulama Insafuddin itu selesai para ulama pun berangkat pulang ke daerah masing-masing.
Teungku Muhammad Basyah dengan penuh rasa syukur atas suksesnya pertemuan ulama Insafuddin itu juga berangkat pulang ke Bireun. Sesampainya di gunung Seulawah, tepatnya di Seunapet mobil yang dikendarainya terbalik dan mengakibatkan Abu Teunom mengalami luka-luka yang sangat serius. Hingga beliau dilarikan kerumah sakit umum Banda Aceh. Setelah beberapa hari dalam perawatan di rumah sakit tersebut, Teungku Muhammad Basyah meninggal dunia. Beliau meninggal dunia pada tahun 1987 dalam usia 42 tahun.
Kepergian Abu Teunom secara tiba-tiba itu sempat membuat ulama Aceh tersentak ketika itu, terutama ulama-ulama Insafuddin yang baru saja usai bertemu di Banda Aceh. Apalagi beliau sudah sepakat dengan beberapa ulama, pulang dari Banda Aceh akan mengunjungi desa Mon Keulayu kecamatan Gerugok, untuk berdialog dengan orang Syiah yang baru menginjakkan kakinya di situ dan sudah mulai mengembangkan misi dakwahnya. Demikian juga masyarakat Bireun, mereka merasa benar-benar kehilangan. Namun apa mau di kata, Teungku Muhammad Basyah telah berpulang lebih dulu dalam usia yang masih relatif muda dibandingkan ulama-ulama lain seangkatannya di Aceh yang masih di berikan keberkahan usianya hingga sekarang.
Abu Teunom meninggalkan 2 orang isteri dan 7 orang putra putri, dari isteri pertamanya Ummi Nurbaiti meninggalkan 4 orang anak yaitu Nauratuddini, Zahratul Marziah, Hayatul Fitriah dan Al Furqan, sedangkan dari isteri keduanya Ummi Misrawati yang dinikahi abu Teunom pada saat itu ummu Misrawati berumur 13 tahun meninggalkan 3 orang anak yaitu, Al Munawir, Zainatuddini dan Al Mahfudz yang pada saat penulis mewancarai juga menceritakan kisah Abu Teunom, dan juga nampak persaudaraan dan keakraban yang begitu kuat diantara anak-anak Abu Teunom ini walaupun mereka mempunyai ibu yang berbeda.
Karya-karya tulis yang di tinggalkan Abu Teunom yaitu:
1. Khutbah jumat pilihan
2. Keutamaan Shalat Sunat Tarawih
3. Pengantar Usul Fiqh
4. Dasar-dasar Ilmu Tauhid
5. Al Ahkam Fil Islam
6. Petunjuk Ibadah Hari Jum’at