Oleh: Tgk Zulfahmi MR |
Hukum Fiqh atau yang lebih dikenal dengan Furu’ Syari’at adalah hukum yang selalu membahas hal-hal yang menyangkut dengan kehidupan sehari-hari umat Islam. Dalam hal ini hukum Fiqh yang berlaku disetiap daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, walaupun daerah-daerah tersebut masih se-mazhab. Hal itu dipicu oleh kearifan disetiap daerah berbeda dengan daerah lainnya.
Tapi kadang-kadang adat atau budaya yang berlaku sangat berbeda dengan hukum yang ada dalam Mazhab, dalam hal ini sangat dibutuh kejelian ulama Fiqh didaerah tersebut untuk menyampaikan hukum kepada masyarakat, agar masyarakat menerima dengan lapang dada. Kecendrungan untuk menyesuaikan hukum dengan adat bukanlah mengalah terhadap adat, tapi begitulah kearifan sebuah hukum Fiqh. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan terjadi perbedaan antara mazhab yang empat.
DALIL HUKUM
Dalil-dalil hukum binatang yang haram dan halal adalah berdasarkan ayat Alqur-an, hadits ataupun qiyas. Sedangkan yang tidak diperdapatkan dalilnya maka hukumnya merujuk kepada pendapat bangsa Arab terutama suku Quraisy yang mempunyai tabiat yang bagus. Karena suku Arab adalah suku yang bagus dalam hal memilih makanan dan agama Islam pertama sekali diturunkan bagi orang Arab dan seluruh dalil-dalil agama berbahasa Arab. Maka binatang yang dianggap baik (thayyibat) oleh orang Arab hukumnya halal sedangkan bintang yang dianggap tidak baik (istikhbats) hukumnya haram, dalilnya:
قَوْلُهُ : ( وَمَا لَا نَصَّ فِيهِ إلَخْ ) دَلِيلٌ هَذَا قَوْله تَعَالَى { قُلْ أُحِلَّ لَكُمْ الطَّيِّبَاتُ } أَيْ مَا تَسْتَطِيبُهُ النُّفُوسُ وَالْخِطَابُ مَعَ قَوْمِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ ، لَهُمْ فِي ذَلِكَ تَبَعٌ
Artinya:
(Sesuatu yang tidak diperdapatkan nash maka merujuk kepada pendapat suku Arab) dalilnya firman Allah SWT: katakan (wahai Muhammad) dihalalkan bagi kamu segala yang baik (surat Almaidah ayat: 4) maksud “yang bagus” adalah sesuatu yang dianggap baik oleh jiwa, yang dikhithabkan (kamu) dalam ayat adalah para sahabat Nabi SAW, sedangkan orang Arab lain di ikutkan kepada para sahabat. {kitab Mahalli (Umairah) jilid: 4 halaman: 261}
وَعُلِمَ بِالْعَقْلِ أَنَّهُ لَمْ يَرُدَّ مَا يَسْتَطِيبُهُ وَيَسْتَخْبِثُهُ كُلُّ الْعَالَمِ لِاسْتِحَالَةِ اجْتِمَاعِهِمْ عَلَى ذَلِكَ عَادَةً لِاخْتِلاَفِ طَبَائِعِهِمْ فَتَعَيَّنَ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بَعْضَهُمْ ، وَالْعَرَبُ بِذَلِكَ أَوْلَى لِأَنَّهُمْ أَوْلَى الْأُمَمِ إذْ هُمْ الْمُخَاطَبُونَ أَوَّلًا
Artinya :
Dan secara akal dapat dimaklumi bahwa tidak mungkin dirujukkan makanan yang dianggap baik dan menjijikkan kepada seluruh umat didunia, karena tidak mungkin semuanya sependapat, karena berbedanya tabiat-tabiat mereka. Maka mestilah yang dirujukkan hukum kepada sebagian umat, merujuk kepada bangsa Arab lebih utama karena mereka bangsa yang mulia dan kepada merekalah ayat tersebut dikhithab pada mula-mula, (Mughni Almuhtaj, jilid: 4, halaman: 303)
PENGELOMPOKAN HEWAN
Di dalam kitab-kitab Fiqh Mazhab Syafii hewan dikelompokan berdasarkan tempat kebiasaan hidup hewan tersebut, yaitu terbagi kepada tiga kelompok:
1. Hewan yang kebiasaan hidupnya di darat.
2. Hewan yang kebiasaan hidupnya di air.
3. Hewan yang kebiasaan hidupnya di darat dan di air.
Pengelompokan tersebutbukanlah untuk menyatakan hukum berdasarkan tempat kebiasaan hidup, tapi cuma sekedar untuk memudahkan pembahasan saja. Sedangkan hukum untuk masing-masing hewan tersebut adalah berdasarkan dalil atau kaidah.
Hewan yang kebiasaan hidupnya di darat dan di air terdiri dari jenis burung atau unggas seperti: angsa, belibis (ara), itik dll. Dan yang terdiri dari jenis reptil seperti: buaya, penyu dan ular. Dan yang terdiri dari jenis Amfibi, seperti: kodok. Dan yang terdiri dari jenis Krustasea seperti: kepiting, kerongkong (keurungkong), umang-umang (umeue-umeue) dll.
HUKUM BINATANG DUA ALAM
Hukum Binatang yang hidup di dua alam ada yang halal, juga ada yang haram:
(الضرب) الثاني ما يعيش في الماء وفى البر أيضا فمنه طير الماء كالبط والاوز ونحوهما وهو حلال كما سبق ولا يحل ميتته بلا خلاف بل تشترط زكاته
Artinya:
Pembahagian yang kedua: binatang yang hidup di air dan di darat pula, diantaranya unggas air seperti: itik dan angsa dll, hukumnya halal sebagaimana telah dijelaskan. Dan tidaklah halal bangkainya tetapi di syaratkan untuk disembelih. (Syarah Muhazzab, jilid: 10, hal: 46)
( وَمَا يَعِيشُ فِي بَرٍّ وَبَحْرٍ كَضُفْدَعٍ ) بِكَسْرِ أَوَّلِهِ وَثَالِثِهِ ( وَسَرَطَانٍ وَحَيَّةٍ ) وَعَقْرَبٍ وَسُلَحْفَاةٍ بِضَمِّ السِّينِ وَفَتْحِ اللَّامِ وَتِمْسَاحٍ ( حَرَامٌ ) ، وَفِي الْأَوَّلَيْنِ قَوْلٌ وَالْآخَرَيْنِ وَجْهٌ بِالْحِلِّ كَالسَّمَكِ وَالْحُرْمَةُ فِي الْأَرْبَعَةِ لِلِاسْتِخْبَاثِ وَفِي الْحَيَّةِ وَالْعَقْرَبِ لِلسُّمِّيَّةِ .
Artinya:
binatang yang hidup di darat dan laut seperti kodok dan kepiting dan ular dan kalajengking dan penyu dan buaya hukumnya haram. Mengenai permasalahan kodok dan kepiting ada Qaul yang menyatakan halal, dan mengenai permasalahan ular dan buaya juga ada Wajhun yang menyatakan halal dengan ilat bahwa kempat binatang tersebut sama seperti ikan. Keharaman kodok, kepiting, ular dan buaya karena Istikhbats,sedangkan ilat keharaman ular dan kalajengking karena berbisa. (Al-Mahalli jilid: 4 halaman: 257, percetakan Darul Kutub Arabiyah Indonesia).
Jelaslah dari keterangan diatas bahwa Kepiting adalah binatang yang di haramkan karena orang Arab mengkatagorikannya kedalam binatang Istikhbats. Jadi ilat haramnya (kodok, kepiting, buaya) adalah Istikhbats karena tidak ditemukan dalil dari Nash atau kaidah, adapun hidup di dua alam cuma pengelompokan saja bukan ilat hukum.
PROBLEMATIKA HUKUM
Terjadi permasalahan bagi masyarakat kita di Aceh karena perbedaan tabiat makan kita dengan orang Arab, sehingga terjadi ketidak puasan hukum. Disaat keharaman kodok dan buaya karena istikhbats, mungkin semua orang Aceh menyetujuinya karena orang Aceh juga menganggap kedua binatang itu adalah binatang yang istikhbats juga. Tetapi disaat diharamkan kepiting karena istikhbats, orang Aceh seolah-olah tidak puas karena di Aceh tidak dianggap kepiting kepada binatang yang istikhbats, disinilah timbul problematika hukum dalam masyarakat. Bahkan di kalangan agamawan pun timbul masalah dan gejolak ketidak puasan. Padahal masyarakat di Aceh bahkan Indonesia secara umum adalah penganut mazhab Syafii, tetapi karena terjadi perbedaan selera makan maka kita kurang puas terhadap hukum tersebut.
Oleh karena itu, pendapatnya ulama Syafiiyah yang telah dinukilkan diatas bahwa seandainya Thayyibat dan Istikbats dirujuk kepada umat sedunia, maka tidak akan pernah ditemui hukum, karena binatang yang dianggap baik oleh satu suku kadang dianggap jelek oleh suku yang lain. Maka Thayyibat dan Istikhbats mestilah merujuk kepada suku Arab. Kaedah inilah yang mesti dipegang dan dimengerti, agar hukum bisa diterima dengan baik.
MENGGUGAT KITAB FIQH
Karena terjadi ketidak puasan hukum maka terjadilah hal yang unik dalam permasalahan kepiting, sehingga banyak sekali pendapat yang timbul, bahkan ada yang berani menggugat pendapat yang tersebut dalam kitab fiqh Mazhab yang diikutinya. Sehingga terkesan seolah-olah para pengarang tersebut telah silap dalam berijtihad.
a. Kepiting yang diharamkan bukanlah Kepiting Bakau (Bieng Bangka), tetapi kepiting lain yang tidak biasa dimakan yaitu Kerongkong (Keurungkong).
b. Kepiting bukanlah binatang yang hidup di dua alam.
c. Kepiting bukanlah binatang Amfibi.
Mengenai tiga macam gugatan tersebut bisa diberi sanggahan:
a. Bila benar kepiting yang diharamkan adalah bukan Kepiting Bakau, tentu di dalam kitab fiqh berbahasa Melayu (Jawi) akan dijelaskan rinciannya. Tetapi diperdapatkan dalam kitab Sirathal Mustaqim karangan Syeh Nuruddin Arraniri penjelasan: “dan haram memakan barang yang hidup dalam laut dan darat yaitu Katak dan Ketam dan Keurungkong……….” (Shiratahal Mustaqim Jilid 2 hal: 260). Kemudian di dalam kitab Sabilal Muhtadin karangan Syeh Muhammad Arsyad Albanjari “dan Haram sekalian hewan yang hidup didalam air dan didarat seperti: penyu …………… dan Sarthan yaitu kepiting, adapun Rajungan (Kepiting Laut) maka yaitu halal.” (Sabilal Muhtadin jilid: 2, halaman: 257). Syeh Albanjari Cuma membedakan kepiting dan Rajungan sedangkan Syeh Arraniri mengumumi makna Sarthan kepada ketam dan kerungkong. Sangatlah tidak arif bila kita menganggap dua Syeh tersebut lupa menyebut Kepiting Bakau.
b. Diperdapatkan dalam seluruh kitab Fiqh Mazhab Syafii bahwa kepiting adalah binatang yang hidup di dua alam. Jadi kalau ini yang dipermasalahkan seolah-olah para imam Mujtahid telah salah dalam berijtihad. Dan bila dikaji dengan seksama yang dimaksudkan hidup di dua alam adalah tempat kebiasaan hidup, apalagi hidup di dua alam bukanlah ilat hukum.
c. Mempermasalahkan kepiting amfibi atau bukan, adalah membahas sesuatu yang diluar jalur, karena para ulama mazhab tidak pernah membahas permasalahan amfibi apalagi amfibi dalam istilah ilmu Biologi. Karena yang dimaksud hidup di dua alam adalah tempat kebiasaan hidup, maka termasuklah kedalam katagori tersebut; belibis, itik dan angsa. Sebagaimana dimaklumi bahwa angsa dan itik Cuma sekedar bermain di air dan keduanya bukan amfibi. Seandaipun bila di maksudkan amfibi, maka bukanlah amfibi dalam istilah Biologi, tetapi amfibi dalam makna yang lain, seperti Tank Amfibi, yang dimaksudkan disitu adalah Tank yang bisa berjalan di air dan didarat.
SOLUSI HUKUM
Sangatlah tidak arif dan bijaksana bagi seorang muqallid Mazhab untuk menggugat kitab fiqh Mazhab yang diikutinya hanya karena sekedar pendapat dalam kitab Fiqh tersebut tidak sesuai dengan keinginannya. Alangkah lebih baik mengikuti pendapat para ulama pengarang kitab Fiqh muktabar dengan ridha dan keikhlasan, apalagi kita yakini bahwa para ulama tersebut telah mengeluarkan pendapat dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki semata-mata karena Allah SWT, tidak ada unsur komersial dalam mengeluarkan ijtihad.
Solusinya adalah mengikuti khilaf dalam kitab fiqh: Kepiting diharamkan menurut pendapat yang kuat, dan ada Qaul Dhaif yang menghalalkannya:
وعد الشيخ أبو حامد وامام الحرمين من هذا الضرب الضفدع والسرطان وهما محرمان علي المذهب الصحيح المنصوص وبه قطع الجمهور وفيهما قول ضعيف انهما حلال وحكاه البغوي في السرطان عن الحليمى
Artinya:
Syekh Abu Hamid dan Imam Haramain menggolongkan kedalam pembagian yang kedua adalah kodok dan kepiting, hukum keduanya haram menurut Mazhab yang Shahih lagi Manshus. Dan Jumhur menganggap tidak ada khilaf mengenai permasalahan tersebut. Dan ada Qaul Dhaif yang menyatakan keduanya halal. Kehalalan kepiting adalah pendapat yang diriwayatkan oleh Syekh Baghawi dari Syekh Hulaimi. (Syarah Muhazzab, jilid: 10, hal: 46)
KESIMPULAN
1. Kepiting adalah binatang yang hidup di dua alam.
2. Ilat keharaman kepiting adalah Istikhbats.
3. Hidup di dua alam bukan ilat hukum, tapi cuma pengelompokan tempat hidup.
4. Tidak semua yang hidup di dua alam haram, tapi ada juga yang halal seperti: itik dan angsa.
5. Kepiting haram menurut pendapat yang sangat kuat dan ada Qaul Dhaif yang menghalalkannya, Qaul Dhaif tersebut dibantah oleh Jumhur ulama.
6. Jenis kepiting yang halal adalah Rajungan yaitu kepiting laut.
DILEMA DAN KEARIFAN LOKAL
Setelah mengetahui hukum halal dan haram, bukanlah hal yang mudah untuk menyampaikannya dalam masyarakat, apalagi bila ada hukum yang sangat bertentangan dengan budaya lokal, sehingga menjadi Dilema bagi seorang ulama Fiqh. Dalam seluruh literatur kitab Fiqh bermazhab Syafii baik yang berbahasa Arab ataupun yang berbahasa Melayu (Jawi) jelaslah bahwa hukum kepiting haram dimakan. Namun memakan kepiting adalah budaya yang sudah sangat mengakar dalam masyarakat di Aceh padahal boleh dikatakan semuanya bermazhab Syafii, sehingga dalam istilah Bahasa Arab biasa disebutkan dengan Umum Bala.
قَالَ ابْنُ قَاسِمٍ وَمِمَّا عَمَّتْ بِهِ الْبَلْوَى أَكْلُ الدنيلس فِي مِصْرَ وَالسَّرَطَانِ فِي الشَّامِ ا هـ .
Artinya:
Syekh Ibnu Qasim berkata: memakan Danailas di Mesir dan Kepiting di Syam sudah umum bala. (Mughni Muhtaj, jilid: 4, hal: 298).
Bahkan bila ada ulama yang melarang memakan kepiting maka ulama tersebut akan di cemooh oleh masyarakat awam. Keadaan justru terbalik mengenai kodok, masyarakat di Aceh tidak memakan kodok, sehingga bila ada ulama yang membolehkan memakan kodok karena ada pendapat Dhaif maka ulama tersebut akan di cemooh. Dalam hal seperti inilah dibutuhkan kearifan hukum fiqh saat bertentangan dengan adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga ulama atau teungku-teungku di Aceh membuat kearifan.
a. Halal memakan kepiting Bakau karena berpegang kepada Qaul yang Dhaif dan karena mengikuti Mazhab Maliki. Bila ada ada teungku yang mengharamkannya karena berpegang kepada pendapat kuat, maka teungku tersebut akan dicemoohkan oleh masyarakat awam.
b. Haram memakan kodok karena berpegang kepada pendapat kuat. Bila ada teungku yang menghalalkannya karena berpegang kepada pendapat Dhaif maka akan dicemoohkan.
Dilema mengenai hukum kepiting menghasilkan kearifan lokal sebagaimana tersebut diatas. Kadang-kadang kearifan disetiap daerah tidak sama dengan daerah yang lain. Begitulah kearifan teungku-teungku di Aceh dalam menyikapi budaya dalam masyarakat yang sangat bersebrangan dengan naluri keilmuan mereka. Sehingga menghasilkan hukum Fiqh yang bisa diterima dengan baik dalam masyarakat. Karena ulama tidak boleh meninggalkan umat, begitu juga sebaliknya, yaitu umat tidak boleh meninggalkan ulama, demi tercapainya masyarakat yang madani.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi pencerahan kepada para pengikut Mazhab Imam Syafii r.a. agar mengerti posisinya masing-masing. Bagi yang mampu menjadi mufti, silakan berfatwa berdasarkan kaedahnya!. Bagi yang mampu menjelaskan hukum, silakan memberi keterangan berdasarkan ketentuannya!. Bagi yang tidak mampu, silakan mengikuti hukum dengan bertanya kepada ahlinya. Janganlah menukarkan posisi tersebut!. Janganlah menggugat pendapat-pendapat para ulama yang telah diakui kealimannya oleh umat di dunia Islam, sehingga seolah-olah para ulama tersebut telah salah dalam berijtihad, apalagi si penggugat adalah sangat awam dalam berijtihad. Mengenai hukum kepiting janganlah mengeluarkan pendapat bahwa kepiting bukanlah binatang dua alam, karena akan memberi kesan bahwa para pengarang kitab telah salah dalam mengkatagorikan. Apalagi ilat haram bukanlah hidup di dua alam tapi istikhbats.
Akhirul kalam semoga tulisan ini memberi manfaat bagi jiwa-jiwa yang mengharapkan keridhaan dan keikhlasan dalam beramal.
Cot Trueng; 2 January 2016
Penulis adalah staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma’arif, Cot Trueng-Muara Batu-Aceh Utara