شر عيوبنا إهتمامنا بعيوب الناس. – سيدنا علي ابن أبي طال
Aib terburuk kita adalah perhatian kita terhadap aib orang lain. – Ali bin Abi Thalib.
Bila tasawuf atau ilmu etika adalah palu, maka diri kita sendiri adalah yang paling layak menjadi paku. Karena dalam segenap pelajaran-pelajaranya, petuah para bijak, bahkan quran dan hadis nabawy, tasawuf menyorot pembentukan, perbaikan, dan proses meluhurkan diri.
Ada sekian banyak satir, halus maupun kasar, yang mencoba menyentuh kesadaraan kita untuk tak perlu bersusah payah menyelami lautan aib orang. Lucunya, hal-hal semacam itu hanya mendapat sambutan hangat berupa “jempol” di sosial media. Bahkan kita bersedia membagikan hal tersebut dengan tanpa rasa bersalah karena tidak mencoba untuk mengambil pelajaran darinya. Bahwa sebuah posting yang bernafaskan nilai-nilai agama yang kemudian disukai ramai orang lebih menarik bagi kita daripada pelajaran itu sendiri. Ya, adalah sebuah kebajikan bila hal itu dimaksudkan untuk mengajak orang lain kepada kebaikan, walau kita sendiri menjauhinya. Namun, bukanlah hal terpuji mendahulukan orang lain atas diri sendiri dalam mendapatkan kebaikan.
Di sini terlihat betapa penerapan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari amat berbeda dengan fungsinya yang seharusnya. Tanpa perlu “terbuka hijab”, perbedaan tersebut dapat diamati pada kebiasaan kita yang, salah satunya, gemar memperbaiki rahasia orang lain. Dengan mengutip aneka pendapat para pendahulu yang bijak bestari atau hadis Nabi, kita mudah sekali menjadikan orang lain sebagai tersangka penyelewengan etika. Bahkan “si Polan suka bergibah” menjadi bentuk gibah terselubung yang amat mudah ditemukan.
Tulisan singkat ini tentu tak bermaksud menafikan perintah-perintah agama untuk saling mengoreksi kealpaan sesama. Namun, bukankah mengkritik dan mengoreksi amat berbeda dengan mengorek hal-hal pribadi?! Yang pertama amat terpuji bila dilaksanakan secara pribadi. Sedangkan yang kedua tercela sekali, dilakukan dalam keramaian atau sembunyi-sembunyi. Bahkan koreksi atas kesalahan, bagaimana pun luhurnya, sangat diutamakan untuk diri sendiri. Karenanya, mengintip ke dalam diri untuk mencari, kemudian memperbaiki kesilapan dan kesalahan, lebih harus diupayakan daripada memeriksa, apalagi mengurus, ruang pribadi orang lain yang boleh jadi lebih bersih dari punya sendiri.
Pada akhirnya, sebuah palu, layaknya gunting, kerap kali digunakan dengan tidak semestinya. Apalagi yang menggunakannya tak lebih dari sekedar daging berjalan. Apa saja akan menjadi paku dan objek potong. Adalah sebuah kebijaksanaan bila yang menjadi paku untuk palu tasawuf adalah diri sendiri.