Dari sejumlah aktivitas wajib yang dilaksanakan santri adalah “meu–ulang” yang sangat menarik dan perlu dibahas kembali. Kenapa? Kiranya kita sama-sama merasa kemampuan membaca kitab sudah anjlok di bawah standar. Dari aneka faktor yang ada hampir bisa disimpulkan, bahwa faktor intern lagi terutama ialah “meu–ulang”, selain ada faktor lain yang tak boleh dilupakan juga. Kita harus mempertanyakan lagi, adakah kita “meu–ulang” selama ini? Bila ada, sudah benarkah metodenya? Lalu bagaimana bisa pengakuan adanya “meu–ulang” tapi kemampuan baca kitab masih di bawah standar? Apakah cara “meu–ulang” kita tidak begitu efektif?
Mari kita menelisik lebih dalam...!!
Perlu kita dudukkan masalah dahulu bahwa yang kita tuntut dan harap tidaklah tinggi-tinggi amat. Ukurannya ialah ketika sudah kelas 2 atau 3 paling tidak, kemampuan mengharkati dan memberi makna sudah memadai. Urusan surah bisa belakangan. Tapi kasihannya, bahkan 2/3 dari kelas 3 sampai kelas 6 misalnya, masih kita dapati urusan mengharkati dan memaknai saja tidak pantas ketika dikontraskan dengan kelas 6. Ini tidak lain karena metode “meu–ulang” yang dijalankan semasa masih benih kurang efektif.
“Meu-ulang”, yang notabenenya dijabarkan sebagai waktu untuk mengulang pelajaran yang telah dipelajari, tak berlebihan bila ditegaskan bahwa oleh sementara kita telah menyalah pahaminya. Dalam asumsi kita, menjinjing kitab di sebelah kanan dan minuman untuk guru di sebelah kiri pada jam 23.15 WIB untuk kemudian duduk di hadapan guru menyimak penjelasan guru telah disebut “meu-ulang”. Secara tidak sengaja kita telah menambah waktu “ek beut”, yang padahal untuk ukuran “beut” dalam 24 jam bisa dikatakan lebih dari cukup; 4 kali sehari. Selanjutnya, masih dalam asumsi kita, “meu-ulang”hanya cukup pada jam yang telah ditetapkan, baik ada guru yang membing atau tidak, lebih dari itu, masak bodoh dengan “meu-ulang” di kamar.
Nah, dengan asumsi demikianlah tidak diragukan lagi apa penyebab merosotnya kemampuan baca kitab.
Dalam pada itu, berpagi-pagi kita perlu menggarisbawahi bahwa dalam “meu-ulang” kita harus menggunakan metode yang paling efektif atau manjur. Ibaratnya, berilah obat menurut sakit yang diderita. Dalam sistem pendidikan kita, standar mampu baca baris dan memberi makna ini harus telah diselesaikan pada kelas 3, atau kelas 4 paling lambat. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum yang ditetapkan. Memasuki kelas 3 kurikulum ditambah dengan pelajaran ilmu Ushul Fiqh dan Mantiq. Ini memberi isyarat bahwa santri pada titik ini harus mulai bertransformasi dari hanya meluruskan dan fokus pada baris dan makna kepada mendalami penjelasan (surah). Namun, bukan untuk pertama kali kita ditampar oleh kenyataan, nasib merosot kemampuan membaca baris dan memaknai telah menjadi wabah yang disenangi dan ditertawai, celakanya sempat dibanggakan pula. Memang, harapan sering dicincang oleh kenyataan.
Karena itulah, dalam “meu–ulang” kita harus menggunakan metode yang kita butuhkan agar lebih efektif. Bagi guru yang “Peu-Ulang” murid di bawah kelas 3, saya menyarankan untuk lebih dahulu mendahulukan dan mengutamakan metode murid membaca baris dan makna berikut dengan meng–i’rab dan men–tashrif–kannya dan anda hanya mempunyai tugas mendengar, membetulkan pada tempat yang salah dan memberi sekelumit penjelasan yang memadai. Tak usah buru-buru melepaskan surah pamungkas anda, karena murid sedang membutuhkan keseringan dan membiasakan diri dengan kitab gundul. Dengan terbiasa “meu–ulang” dengan cara tersebut ditambah “meu–ulang” di kamar bila ada kesadaran akan membuat kemampuan baca kitabnya lebih cepat meningkat.
Selanjutnya, bila kita melihat kemampuan membaca baris dan makna sudah oke, lanjutkan dengan memberi surah. Pada kondisi ini bolehlah untuk mengonsumsi surah-surah yang rada-rada payah.
Sedangkan bagi yang “meu-ulang”, khususnya lagi bagi yang baru-baru melihat kitab gundul, untuk mengulang kitab yang baru saja diajarkan oleh guru. Artinya, tepat setelah turun ngaji, usahakan untuk mengulang sekali saja kitab yang telah dikaji tadi. Mengulang baris, makna dan mengi’rabnya. Kalaupun ada surah yang tak paham, itu bisa diurus belakangan. Yang penting, bisa dan lancar membarisi dan memaknai kitab dulu. Sedangkan surah bisa ditilik kembali nanti.
Dengan begitulah krisis yang dari dulu kita hindari bisa sedikit teratasi. Sekali lagi, kita tidak berharap banyak di ini zaman, ukuran bisa lancar baca baris dan makna serta surah yang memadai sesuai tingkatan kelas itu sudah cukup. (ZAN)
Waallahu A’lam
…